Lihat ke Halaman Asli

yswitopr

TERVERIFIKASI

Dilarang Beribadah di Rumah?

Diperbarui: 20 Juni 2015   05:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14020360952088445629

[caption id="attachment_309954" align="aligncenter" width="620" caption="masih adakah rasa nyaman beribadah di rumah sendiri?"][/caption]

Saya yakin para pembaca semua telah membaca dan mengerti apa yang terjadi di Sleman beberapa hari ini. Yang saya maksudkan adalah peristiwa “pernyerangan” jemaat yang sedang melakukan doa rosario di Besi, perusakan rumah pendeta di Pangukan, dan pelarangan beribadat di Seyegan. Peristiwa-peristiwa yang beruntun dalam waktu yang berdekatan. Saya tidak hendak membahas peristiwa itu. Saya mencoba melihat dari sisi lain, efek psikologis yang muncul pasca kejadian-kejadian tersebut.

Menyikapi peristiwa-peristiwa tersebut, Kapolri Jendral Sutarman memberikan pernyataannya. Sebagaimana dikutip berbagai media cetak atau online, Kapolri menegaskan bahwa adalah tidak boleh menjadikan rumah sebagai tempat ibadah. Apakah tidak boleh menggunakan rumah sebagai tempat kegiatan rohani? Kapolri menegaskan bahwa kegiatan keagamaan boleh diadakan di rumah sejauh tidak dilakukan secara rutin.

Sebuah pernyataan yang menarik. Saya sendiri yakin bahwa memang sudah seharusnya rumah menjadi tempat tinggal dan tidak difungsikan seperti halnya tempat ibadah. Meski demikian, pernyataan Kapolri ini demikian bias. Bias itu bisa menjadi-jadi ketika pernyataan Kapolri dipotong sebatas, “Rumah dijadikan tempat ibadah tidak boleh. Itu ketentuan!” Ketika pernyataan Kapolri dipotong pada kalimat itu, efek sosialnya akan berat.

Pertama, alih-alih memberikan pernyataan berkaitan dengan pelaku kekerasan atau penyerangan, kapolri justru memberikan pernyataan berkaitan dengan korban penyerangan. Ini pun bersifat bias. Siapa pelaku dan siapa korban akan tergantung pada siapa yang berteriak lebih lantang. Waktu yang akan membuktikan apakah akan ada proses hukum berkaitan dengan kasus ini.

Kedua, apakah keseluruhan pernyataan Kapolri diterjemahkan secara sama di tingkat bawah? Ini pertanyaan besar dan sekaligus alat ukur sejauh mana jajaran di Polri mampu menerjemahkan pernyataan pimpinannya itu. Rasa saya, ada titik lemah dari pernyataan Kapolri yang bisa menimbulkan salah tafsir. Kata rutin bisa diartikan berbeda antara satu dengan yang lain. Ibadah devosi rosario selama bulan Mei bisa dipandang sebagai kegiatan keagamaan yang rutin. Kegiatan itu rutin diadakan setahun sekali (bulan Mei Cuma ada sekali dalam setahun kan?). Kegiatan ini juga bisa dimaknai rutin karena diadakan sebulan penuh. Setiap hari ada kegiatan dalam rangka mengisi bulan Mei (dalam konteks Gereja Katolik sebagai bulan Maria). Namun, sejatinya kegiatan ibadah devosi rosario selama bulan Mei bukanlah termasuk kegiatan keagamaan yang bersifat rutin layaknya ibadah mingguan.

Ketiga, efek psikologis masyarakat. Ketika pernyataan Kapolri diterjemahkan secara berbeda, timbullah ketidaknyamanan di tingkat masyarakat. Betapa masyarakat mengalami ketakutan untuk mengadakan kegiatan rohani di rumah mereka sendiri. Sebuah kegiatan yang sangat jauh dari konteks rutin.

Beberapa waktu yang lalu, pejabat pemerintah kecamatan mendatangi sebuah lokasi peziarahan kecil di sekitar tempat tinggal saya. Sabtu malam ada kegiatan rohani di tempat itu. Panitia sudah mengirimkan surat pemberitahuan dan saya yakin sampai ke Polsek mengingat ada anggota yang diterjunkan ke lokasi. Maksud kedatangan mereka adalah untuk meninjau lokasi karena informasi yang mereka dapatkan menyebutkan bahwa ada peletakan batu pertama pembangunan gereja. Mendengar itu, saya menahan tertawa. Faktanya, persis di depan tempat ziarah yang kecil itu memang akan dibangun. Bukan gereja, tetapi rumah tinggal.

Kekagetan saya terus bertambah ketika para pejabat ini mengatakan kepada kami untuk mengurangi kegiatan rohani selama persiapan pilihan presiden. Mereka juga menyebutkan perlunya pemberitahuan kepada pemerintah desa, kecamatan, dan polsek jika ada kegiatan keagamaan di rumah-rumah. Kami tidak berani membantah. Hanya anggukan dan tampang keheranan yang terpancar dari raut wajah kami. Sejak kapan kegiatan rohani di rumah pribadi harus membuat surat pemberitahuan?

Demikian mencekamkah kehidupan beragama di negeri ini? Entahlah apa yang ada di pikiran para pejabat ini ketika mengatakan hal-hal tersebut. Mungkin mereka tidak berpikir efek psikologis dari pernyataan mereka itu. Efek ketakutan jelas menghinggapi masyarakat. Mereka berpikir ulang untuk mengadakan kegiatan rohani di rumah mereka sendiri, meskipun kegiatan itu sudah direncanakan sejak lama. Ada satu keluarga yang telah merencanakan peringatan 1000 hari meninggalnya orang tua mereka. Mereka kemudian datang dan meminta pertimbangan: tetap diadakan, mengubah jadwal, atau membatalkan kegiatan tersebut. Saya pun hanya bisa memberikan peneguhan: tetap dilaksanakan dan silahkan membuat surat pemberitahuan kepada aparat.

Bagi saya, pernyataan kapolri adalah sebuah blunder yang dilakukan seorang pemimpin. Pernyataan seorang pimpinan pasti akan dilaksanakan oleh bawahannya. Apakah pelaksanaannya akan sama dengan maksud pernyataannya? Ketika berbeda, apa yang dibuat masyarakat? Sayangnya pula, saya tidak menemukan data apakah pernyataan Kapolri diikuti dengan surat edaran yang berisi implementasi dari pernyataan itu kepada jajaran di bawahnya. Jika ada petunjuk pelaksanaannya, apakah juga berlaku untuk semua atau hanya berlaku untuk sebagian saja?

Pernyataan itu jelas tidak memperhitungkan efek psikologis yang bisa timbul di tengah masyarakat. Berdoa dan beribadah di rumah sendiri menjadi takut. Takut jika kemudian didatangi sekelompok orang yang ingin menerapkan pernyataan Kapolri secara sepihak. Ketakutan itu bukan fantasi, tetapi sungguh riil ada. Okelah jika ada kebijakan pemberitahuan. Tapi apa konsekuensi dari pemberitahuan itu? Apakah kemudian akan ada penjagaan dari aparat? Jadi membayangkan, ada kegiatan rosario di rumah yang diikuti 10 orang dan dijaga beberapa aparat kepolisian.

Jika demikian, sudah tidak ada rasa nyamankan menjalan kegiatan keagamaan di rumah sendiri?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline