[caption id="attachment_348196" align="aligncenter" width="620" caption="eksotiknya air terjun tongkat"][/caption]
“Untuk sampai ke air terjun tongkat, kita harus berjalan kaki dengan medan naik turun selama kurang lebih 1 jam” kata ranger yang menemani saya. “Kalau kami sendiri, hanya 35 menit sudah bisa sampai” lanjutnya. Ranger bernama Mende yang masih lajang itu menjelaskan lokasi-lokasi yang bisa saya kunjungi dalam sehari. Ada air terjun tongkat. Ada air terjun teroh-teroh. Dan ada kolam abadi. “Hanya 3 tempat itu yang bisa dikunjungi dalam sehari ini. Kalau tiga tempat, biayanya Rp. 60.000 per orang. Kalau hanya dua tempat, biayanya Rp. 40.000 per orangnya.” Supaya puas, saya pun memilih tiga lokasi sekaligus.
[caption id="attachment_348197" align="aligncenter" width="619" caption="base camp pelaruga"]
[/caption]
Kadang kala, untuk menikmati keindahan alam kita harus membayarnya dengan menaklukkan alam itu sendiri. Setelah perjalanan melelahkan mencari lokasi saya masih harus berjalan kaki. Byuhh… Bayangkan saja, untuk sampi ke lokasi yang terletak di Sei Bingai, Sumatra Utara ini, saya teresat beberapa kali. Dari Langkat, saya menuju ke Binjai. Lalu menuju ke Namo Ukur Pekan. Di sinilah saya salah jalan. Mestinya, ketika bertemu Polres Sei Bingai, saya berbelok ke kanan. Tetapi saya justru mengambiljalan lurus. Setelah sekian lama, harus berbalik arah lagi. Sepanjang jalan tidak ada papan petunjuk yang jelas. Papan-papan petunjuk baru ada sekitar 3 KM sebelum lokasi.
“Lokasi ini dikelola oleh masyarakat seperti kami-kami ini, Bang. Pemerintah sama sekali tidak memberikan andil” kata bang Mende menjelaskan keberadaan dan pengelolaan lokasi wisata yang berada di desa Rumah Galoh ini. Ada sekitar 6 kelompok yang memberikan jasa jelajah alam menuju lokasi. Masing-masing kelompok memiliki rute yang berbeda-beda. Papan-papan petunjuk itu dibuat oleh kelompok-kelompok ini sekaligus menawarkan jasa mereka. “Kalau kelompok kami namanya Pelaruga. Semua anggotanya berasal dari warga. Ada sekitar 15 anggota tetapnya”.
[caption id="attachment_348198" align="aligncenter" width="620" caption="tantangan pertama menuju air terjun tongkat. ngesotpun jadilah.."]
[/caption]
10 menit pertama medan perjalanan masih landai. Di kanan kiri tampak pohon-pohon karet yang tinggi menjulang. Namun, perjalanan sejatinya baru terasa sesudahnya. Saya harus menaklukkan jalan setapak yang aduhai. Kondisi jalan naik dan turun. Karena tadi malam hujan, jalanan licin. Untuk mempermudah wisatawan, tebing-tebing itu dilubangi kecil sebagai pijakan kaki. Harus ekstra hati-hati melewati jalan itu. Kadang kala, ngesot pun jadilah.
Ketika sayup-sayup mulai terdengar suara air terjun, lelah seolah menghilang. “Tinggal satu turunan lagi, Bang” kata bang Mende sambil tersenyum. Melihat dia tersenyum, saya jadi curiga. Pasti ada sesuatu berkaitan dengan turunan itu. “Turunan paling ekstrem” katanya.
[caption id="attachment_348199" align="aligncenter" width="619" caption="tangga tegak lurus yang terbuat dari bambu dengan ketinggian 30 meter ini harus ditaklukkan terlebih dahulu untuk bisa menikmati pesona air terjun tongkat"]
[/caption]
Benar saja. Lutut saya sedikit gemetar ketika sampai di ujung perjalanan dan tidak terlihat lagi jalan setapak. Di ujung jalan setapak hanya terlihat tonggak-tonggak bambu. “Kita lewat mana, Bang?” tanyaku sedikit curiga. Tanpa berbicara, bang Mende hanya menunjukkan ke arah tonggak-tonggak bambu. “Itulah turunan yang harus dilewati” katanya masih sambil tersenyum. Sesampai di tonggak-tonggak bambu itu, saya pun terduduk lemas. Tonggak-tonggak bambu itu ternyata tangga untuk turun. Ada 3 tangga berjajar dengan kemiringan 900. Jika ingin sampai ke air terjun tongkat, tangga ini harus dilalui.
Setelah beristirahat sejenak, saya pun perlahan-lahan menuruni tangga bambu itu perlahan-lahan. Walau sedikit gemetar, tangga setinggi 30 meter itu pasti bisa saya lalui. Di tengah perjalanan, saya seperti diejek oleh bang Mende. Ia berjalan cepat menuruni tangga itu. Sementara saya berjalan mundur dan perlahan, ia berjalan biasa saja menghadap ke depan. “Kampret…” batinku. Mungkin ia tahu apa yang ada dibatinku, maka ketika melewatiku ia pun tersenyum.
[caption id="attachment_348202" align="aligncenter" width="620" caption="pandangan pertama setelah menaklukkan tangga. keindahan air terjun tongkat demikian memikat"]
[/caption]
Akhirnya, sampai juga aku di bawah. Takpeduli capek, saya pun segera mengambil beberapa foto air terjun tongkat yang memiliki ketinggian sekitar 30 meter itu. Disebut air terjun tongkat karena ada sebuah kayu yang bersandar di tebing air terjun ini. Selain kayu yang berdiri dan bersandar, ada banyak kayu besar yang berada di bawah. Kayu-kayu besar yang mulai lapuk itu sekaligus menajdi tempat untuk bersantai menikmati keindahan alam di air terjun tongkat ini. Airnya yang bening demikian menggoda untuk bermain-main didalamnya sembari melepaskan capek setelah menempuh perjalanan. Dengan didampingi ranger, para wisatawan dapat turun ke kolamnya.
[caption id="attachment_348204" align="aligncenter" width="620" caption="brrrrrrr... harus masuk ke air yang dingin untuk mendapatkan foto ini"]
[/caption]
Untuk ukuran air terjun dengan ketinggian 30 meter lokasi sekitar air terjun terasa kurang luas. Akibatnya hampir semua lokasi basah oleh air dan menjadi licin. Harus ekstra hati-hati ketika berjalan-jalan supaya tidak terpeleset dan jatuh.
Selain itu, sekitar lokasi juga terlihat kotor. “Sebenarnya ada petugas kebersihan dari warga, bang. Seminggu masuk 3 kali. Karena ini hari biasa, kondisinya ya seperti ini. Kotor dan jorok” jelas bang Mende ketika saya memprotes kumuhnya lokasi air terjun tongkat ini.
[caption id="attachment_348205" align="aligncenter" width="467" caption="basah dan berlumut. harus ekstra hati-hati ketika bermain-main di lokasi air terjun tongkat supaya tidak terpeleset dan jatuh"]
[/caption]
Setelah puas berbasah ria, saya pun mencari lokasi yang enak untuk menikmati alam di air terjun tongkat ini. Sembari melepaskan penat, terucap doa untuk sahabatku yang hari itu merayakan ulang tahun. Setelah itu, saya pun mengajak bang Mende untuk melanjutkan perjalanan menuju ke lokasi kedua. Sebenarnya ada sedikit kekecewaan karena saya tidak mendapatkan foto yang cukup banyak. Memotret di lokasi ini sungguh tidak mudah. Selain lokasinya yang unik, lensa mudah sekali berembun.
[caption id="attachment_348207" align="aligncenter" width="467" caption="air terjun tongkat tampak dari samping.. "]
[/caption]
“Kita kembali ke jalur yang tadi kita lalui” kata bang Mende. Saya pun langsung lemes membayangkan rute yang tadi saya lalui. “Kalau gitu, kita jalan santai saja Bang. Pelan-pelan asal slamet” kataku sambil memegangi lutut. Dan perjalanan menuju ke air terjun teroh-teroh pun dimulai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H