Lihat ke Halaman Asli

YS Wilhelmus

Buruh Negara

Adaptasi Budaya Paling Sederhana : Minum Kopi dan Makan Bersama

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah hari ke -30 atau tepatnya satu bulan KKN PPM dan beberapa program pemberdayaan masyarakat yang telah dilakukan akhirnya mendapat feedback yang luar biasa dari masyarakat sebagai objek sekaligus subjek KKN PPM UGM.

Well then, itu cerita lain, program kerja adalah sesuatu yang telah dipersiapkan sebelum memutuskan untuk berangkat KKN, dan itu sangat mudah dilakukan apabila tercapai komunikasi dan interaksi social yang sangat baik dengan masyarakat di tempat KKN PPM tersebut dilaksanakan.

Ada cerita menarik, bagaimana KKN tidak sekadar memberdayakan masyarakat, tapi bagaimana terjadi akulturasi budaya, tutur bahasa, dan juga adaptasi kearifan lokal masyarakat disana. Mahasiswa KKN yang melakukan proses akulturasi ini dapat dengan mudah beradaptasi dan juga dapat sangat sulit beradaptasi. Program-program tidak hanya sekadar berjalan, masyarakat merasakan dampaknya, serta manfaatnya, tapi yang paling penting, bagaimana masyarakat KKN ini tidak kehilangan kearifan lokalnya maupun kehilangan budayanya.

Ada proses akulturasi budaya yang menarik yang telah turun temurun dilakukan di masyarakat desa Tanjung Binga,kabupaten Belitung tempat dimana kami melakukan KKN. Disini ada 2 masyarakat utama, yaitu pendatang dan penduduk asli yang merupakan orang-orang melayu. Pendatang adalah pelaut dari Sulawesi dan kebanyakan Sulawesi selatan, bersuku Bugis dan berbahasa bugis. Serta penduduk asli yang merupakan masyarakat asli melayu. Ada yang menarik disini, dimana masyarakat bugis yang memilik budaya sendiri, bahasa khas, dan logat yang tegas, mengalami akulturasi, sehingga berbahasa bugis dengan dialek/ logat melayu. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari proses adapatasi yang berpuluh-puluh tahun yang lampau, sehingga pendatang harus memahami kearifan lokal masyarakat asli.

Nah, ada kebiasaan masyarakat disini, didesa pesisir tanjung binga, yang sebagian besar penduduknya merupakan nelayan dan beragama muslim. Mereka melakukan budaya adat kelakar, yaitu budaya berkumpul dalam perayaaan atau panen besar. Kelakar merupakan budaya asli melayu yang pada akhirnya dilakukan oleh seluruh masyarakat desa baik mereka pendatang suku bugis, maupun penduduk asli.

Menariknya kelakar ini dilakukan masyarakat hampir di setiap perayaan desa, dan pada saat kelakar mereka melakukan makan dalam kelompok 4- 5 orang yang biasa disebut makan bedulang. Bedulang merupakan makan menggunakan tampah/dulang. Makan ini biasanya dilakukan untuk menyambut tamu dari luar daerah Belitung. Menariknya, dalam kelakar dan makan bedulang ini, sangat mudah melakukan adaptasi budaya dan tutur bahasa, dimana pembelajaran sesungguhnya kearifan lokal masyarakat tanjung binga terdapat disini.

Dalam kelakar, dan makan bedulang, masyarakat terbiasa makan sambil bercanda dan bercerita, menggunakan bahasa lokal, saling melempar pantun, saling berbalas ejek. Ini tidak bisa kita pelajari setiap hari, dimana saat melakukan sosialisasi dan komunikasi berkaitan dengan program kerja, masyarakat menggunakan bahasa-bahasa formal, santun, dan terkesan baku dan serius. Namun tidak pada saat bedulang, masyarakat sejenak melupakan jabatannya, pekerjaannya, dan tidak ada batasan antara tua-muda. Semua dalam satu dulang adalah kawan.

Ada lagi, budaya minum kopi masyarakat setelah melakukan sholat maghrib. Masyarakat nelayan yang bekerja seharian, biasanya melakukan sholat berjamaah di masjid. Setelah sholat, mereka membuat kopi yang telah tersedia di setiap masjid. Tidak peduli tua-muda, perokok ataupun bukan dan masyarakat muslim ataupun non-muslim, budaya minum kopi setelah maghrib ini dilakukan setiap hari. Dari sinilah, bahasa-bahasa asli yang tidak biasa kita dengarkan saling diucapkan. Berbalas ejekan, berbalas sapaan serta berbalas candaan menjadi hal lumrah. Sangat menarik dimana budaya semacam ini masih terus dilestarikan. Hubungan masyarakat antar suku, agama, ras, dan budaya bukan lagi menjadi sesuatu yang harus dipertentangkan. Mereka saling bahu membahu, saling berinteraksi dengan akrab. Inilah keindahan sesungguhnya masyarakat desa, yang hidup berdamai antara penduduk asli dan pendatang.

Sungguh, Indonesia tidak hanya indah alamnya, tapi juga budayanya..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline