Lihat ke Halaman Asli

Mengembalikan Esensi Car Free Day

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Car Free Day, atau hari tanpa mobil, itu arti harfiahnya.  Program yang pertama kali dilakukan di kota Metropolis, Jakarta ini sudah diadopsi di beberapa daerah dan kota. Awal dari program ini sesungguhnya untuk mengurangi emisi gas buang yang sudah terlalu tebal dan menjadi 'kabut' polusi setiap hari di kota Jakarta. Ternyata, uji coba dari jam 05.00 - 14.00 wib itu cukup mengurangi pekatnya karbon yang rajin dihirup warga setempat. Ngeri ya, setiap hari ternyata kita menghirup asap polusi, dan pagi hari di Jakarta itu bukan kabut embun yang biasanya sejuk, tetapi asap kendaraan yang tak pernah bisa benar-benar menguap hilang berganti udara segar. Ahasil, sumpek yang didapat.  Setidaknya itu yang muncul di benak saya setiap singgah di Jakarta.  Nah, keberhasilan cara lain mengurangi Co2 yang biasanya mengandalkan pohon-pohon besar yang menyerap dan menjadi filter lumayan ada hasilnya, apalagi pohon-pohon besar banyak tumbang dan ditebang.  Setidaknya hingga 70-an persen bisa mengurangi polusi yang diakibatkan emisi gas buang, maka CFD yang dulu pertama kali diakukan setiap akhir bulan, kini menjadi semakin sering frekuensinya.

Program positif ini, dilakukan juga di kota di mana saya tinggal, Solo. Sudah setahun lebih beberapa bulan, Car Free Day dilakukan di sepanjang Jl.Slamet Riyadi dari Bundaran Purwosari sampai Bundaran Gladak. Saya masih ingat, awal pertama di CFD ketiga kalinya, jalan masih sangat lowong dan sepi, mungkin belum semua ngeh 'enaknya' gimana nih ada jalan lowong gini, kaliii.. hihihi. Sosialisasi selalu dilakukan. Senangnya bersepeda pagi melintasi jalan lurus panjang tanpa hambatan, meski masih banyak warga yang 'ngeyel' atau pura-pura tak mengerti apa itu Hari Bebas Kendaraan. Lambat laun, warga mulai memenuhi dan berkegiatan pagi di sepanjang Jl. Slamet Riyadi setiap hari Minggu. Semangat bersepeda pun ikut tumbuh dan berkembang dengan munculnya komunitas-komunitas sepeda berbagai jenis. Senangnya, warga Solo mulai paham segarnya udara pagi. Setidaknya dengan ikhlas para pengendara motor bersedia meninggalkan motornya di rumah dan memilih berjalan kaki. Kegiatan yang dilakukan di sepanjang CFD sangat beragam, senam jantung sehat, Poco-poco, anak-anak latihan Tae Kwon Do, berkesenian dan masih banyak lagi. CFD menjadi ajang sosialisasi gratis dan efektif. Orang berkumpul, santai, apapun pasti akan dibaca dan dilihat. Tapi sayang, setiap CFD selesai yaitu jam 09.00 wib, sampah bertebaran di mana-mana. Sedihnya, warga Solo belum sadar akan disiplin kebersihan. Bahkan hal itu diikuti pula dengan para pedagang ada yang ikut tidak tertib, meninggalkan sampah dagangannya di pingggir trotoar. Mmm, yang ini masih perilaku primitif. Maaf, tapi sampah memang bikin gemes, warga yang masih gemar buang sampah sembarangan, ketika banjir masih minta pertanggung jawaban pemkot lagi!

Kembali ke CFD. Program CFD ini ternyata memang disambut sangat antusias oleh semua lapisan masyarakat. Dengan dilarangnya pengelolaan oleh EO-EO, kemurnian CFD tetap terjaga, bukan ajang bisnis. Tentu saja, dengan ditutupnya jalur utama kota Solo yaitu Jl. Slamet Riyadi, berpengaruh pada arus lalu lintas yang akhirnya harus dialihkan. Sebagian masyarakat yang merasakan manfaatnya, tidak masalah dengan pengalihan jalur lalu lintas yang hanya berlaku sampai jam 9 pagi. Apalagi, saat ini area CFD bertambah yakni sepanjang Jl. Juanda, Sekarpace yang merupakan jalur alternatif bagi kendaraan besar seperti truk, trailer dll. Dulu, ketika CFD Slamet Riyadi sempat membuat pusing PO.Bus dan orang-orang yang mau kondangan di gedung-gedung yang terletak di sepanjang jalan itu, sempat terlontar komentar dari Wawali Solo, Pak Rudy, wacana tentang penutupan CFD lebih awal yaitu jam 8.30 wib, karena jam 09.00 sudah panas! Waduh, kok bisa begini? Kemudian beberapa waktu lalu saya membaca di salah satu koran lokal yang memuat uneg2 warga melalui SMS, salah satu pengirim sms menulis bahwa ia merasa dirugikan dengan adanya CFD, kenapa mesti di jalan Slamet Riyadi? kalau mau piknik dan kegiatan mbok cari tempat lain, jangan di jalan! Nah, dari situlah saya mencoba memposting tulisan 'nguda rasa' saya ini tentang esensi Car Free Day. Apakah semua paham maksud dan tujuan diberlakukannya program Car Free Day?

Tidak perlu jauh ke Jakarta. Kondisi udara Kota Solo sebenarnya sudah cukup menyesakkan. Pertumbuhan ekonomi mempengaruhi cepatnya pertumbuhan penjualan otomotif terutama sepeda motor.  Selain pengguna motor masa kini yang lebih ugal-ugalan, asap yang keluar dari knalpotnya juga sangat menyumbang penambahan persentase polusi udara. Padahal di Kota Solo juga ada pabrik-pabrik yang tentu saja cerobongnya mengeluarkan asap dan otomatis mengotori udara bersih. Belum lagi asap mobil dan bis kota yang jarang masuk uji emisi gas buang. Hitam. Pekat. Bertimbal. Sementara keberadaan paru-paru kota sudah mencemaskan. Pohon-pohon besar ditebang karena pembangunan hotel, mall, ruko dll.  Daerah Manahan, tidak sesejuk dulu ketika melintas. Apalagi Jl. Slamet Riyadi yang mulai menyusut dengan cepat keberadaan pepohonan besar yang dulu menjadi wajah pertama kali yang kulihat setiap masuk kota. Ketika lahan yang dibutuhkan untuk paru-paru kota tak terpenuhi, salah satu yang bisa dilakukan adalah melaksanakan program Hari Bebas Kendaraan, toh hanya seminggu sekali dan hanya dari jam 05.00-09.00 wib saja.  Manfaat yang diambil bagi kota Solo juga banyak, selain mengurangi polusi udara yang mulai menjadi 'kabut pagi', warga kembali berinteraksi dengan bebas, dengan siapapun. Wajah Indonesia yang ramah. Dengan bertambahnya area yang diberlakukan CFD, ternyata muncul harapan setiap kelurahan bisa mendukung dengan menjalankan program ini di kampung masing-masing. Kampung di Solo, bisa dikatakan sudah seperti kota karena saking padatnya. Kepadatan penduduk pastinya ikut andil dalam memperbanyak persentase polusi yang ada sekarang. Jadi, jika ada pihak yang merasa dirugikan dengan program ini karena harus berputar-putar jalurnya, mungkin hanya sebagian kecil. Sebagian yang masih harus berputar jalan mulai memaklumi, karena Minggu Pagi di kota Solo menjadi lebih sejuk. Sebagian besar merasa mendapat tempat bercengkrama dan berolahraga tanpa takut diserempet bis atau motor.  Public Space. Meski hanya 4 jam lumayanlah. Tapi semoga saja Masyarakat tidak lupa dengan tujuan diberlakukannya CFD, yaitu mengurangi polusi di kota Solo, dan membantu mengurangi efek rumah kaca.

Esensi Car Free Day setidaknya mulai terasa.  Kota Karanganyar pun sudah memulai program ini, di susul Kota Sukoharjo dan tahun 2012 rencananya Kota Klaten akan ikut menyusul. Tiga kota itu adalah jalur lalu lintas padat kendaraan besar seperti bis bumel, bis AKAP, truk pengangkut dll. Konon, jumlah kota dan kabupaten yang memberlakukan CFD semakin bertambah. Bayangkan jika seluruh kota-kota di Indonesia bisa ber-CFD, pasti akan menekan polusi udara dan memberi ruang bagi udara segar kembali datang untuk kita hirup dengan gratis, bukan sejuknya angin AC, tapi Angin Cejuk alami. Tentunya, kesuksesan mengurangi polusi diikuti pula dengan perilaku masyarakat dengan sampah. Kebiasaan membakar sampah, sangat cepat kembali menambah polusi dan memperburuk udara.

Keriaan Car Free Day adalah salah satu bentuk antusiasme masyarakat yang merindukan ruang publik. Tetapi mesti kita mengingat, CFD bukan tempat untuk berpiknik meskipun bisa berpiknik murah, bukan tempat berkegiatan, meski boleh berkegiatan. CFD adalah sarana kita untuk kembali menyapa dengan ramah pada Alam, pada pohon yang lelah menyerap polusi, dan salah satu niat memelihara udara. Jadi jika masih ada yang menganggap tujuan CFD adalah tempat piknik dan pentas, mungkin bisa mempelajari lagi tentang fungsi dan tujuan CFD. Sehingga tidak ada lagi wacana CFD selesai jam 8.30 karena warga sudah kepanasan dan tidak nyaman untuk 'hang out'. Menurut saya pribadi, akan lebih mungkin jika jam CFD diperpanjang sampai jam 12 misalnya? jalan sepi tidak perlu pusing, bukankah itu yang menjadi tujuan? Justru bisa mengangkat lagi keberadaan becak dan sepeda, kendaraan yang lebih ramah lingkungan meskipun mendapat sambutan tidak ramah dari Ibu warung.. makan banyak, bayar kurang lagi! hehehehe...

Salah satu harapan dari saya adalah, kantor-kantor yang berada di sepanjang Jl.Slamet Riyadi dan memunyai lahan parkir luas bisa mendukung program ini dengan meminjamkan halaman besarnya untuk warga yang berolahraga senam. Senam Tai Chi, Jantung sehat apalagi Aerobik pasti mengundang banyak pengikut. Akan lebih rapi dan tidak akan terlempar bola atau terserempet sepeda tukang somay yang lewat jika kantor2 itu mau berbaik hati.  Keamanan ? Mari kita waspada sendiri-sendiri, yang jelas kalau ingin aman dari copet jangan jauh-jauh dari komunitas Anjing, dijamin copet tidak bakal datang.. hehehe..

Kiranya cukup di sini dulu 'nguda rasa' dari saya yang selalu mengamati dan menjenguk kompasiana dengan diam-diam.

Salam sejuk dari Saung Solo




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline