Lihat ke Halaman Asli

Ceramah Satrio Wibowo (16 th) Di Seminar Anak Berbakat CI+BI Jakarta 11 Des 2010

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12944662351749466338

Video Satrio Wibowo

1294466279868291683

1294466020268441833

12944660801047005569

12944661101707486153

Jauh-jauh hari Pa Amril Muhammad, Sekjen Asossiasi Anak CI+BI (Cerdas dan Berbakat Istimewa) Nasional memberitahu kalau aku dan Satrio wibowo (Bowo 16 th) putraku dimintanya untuk menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Anak CI+BI bertema Sinergitas Keluarga, Sekolah/Madrasah dan Lingkungan dalam Optimalisasi Potensi Anak Cerdas Berbakat Istimewa Indonesia dan pemberian Award kepada empat orang tokoh pendidikan yang berjasa dalam pengembangan anak berbakat yaitu Profesor Utami Munandar, Conny Semiawan, Arief Rahman dan Indra Jati Sidi. Aku dan Bowo menyanggupi karena sekian lama memendam keinginan untuk menyuarakan keprihatinan akan kondisi anak berbakat yang nyaris tak tersentuh uluran tangan pemerintah melalui sistem pendidikan yang sesuai dengan potensi mereka.

Hari Sabtu 11 Desember 2010 jam 6.30 WIB, dari rumah kami di Bogor aku dan Bowo sudah meluncur dengan taxi menuju Sekolah Diponegoro di Rawamangun Jakarta, tempat acara diadakan. Kami tak sempat sarapan, aku hanya meneguk segelas susu dan Bowo pun sama, setelah meneguk susunya Ia mencomot sepotong pisang goreng yang kubuat selagi subuh.

Untunglah kami pergi di hari Sabtu,Jakarta nampak begitu ramah hingga tak terjadi kemacetan seperti biasanya di hari kerja. Di perjalanan Bowo sudah mewanti-wantiku untuk mencari restoran yang menyajikan makanan khas Indonesia (Ia mulai anti fast food) karena perutnya sudah mulai lapar. Aku bingung mendengar permintaanya karena rasanya mustahil ada restoran buka sepagi ini, kecuali restoran fast food yang buka 24 jam.

Kami tiba di lokasi sebelum jam 07.30, sementara acara dimulai pada jam 08.00. Keluar dari taxi, gerimis menghadang lalu kami berlari kecil menyeberang jalan. Saat tengah menujuSekolah Diponegoro, tiba-tiba hidung kami dibuai semerbak aroma masakan, langsung saja kami berbalik arah menuju ke sebuah warung makan yang baru saja dibuka.Bowo tersenyum bahagia ketika menduduki bangku panjang, menghadap meja yang dipenuhi lauk pauk yang masih mengepul, Ia segera mengisi perutnya dengan lahap.

Sekolah Diponegoro pagi itu sudah ramai didatangi peserta seminar dari berbagai penjuru tanah air. Aku sempat mengobrol dengan seorang ibu yang penuh semangat, Ia menyebutkan instansi tempatnya bekerja di Bandung namun aku tak sanggup mengingatnya karena puanjannng …bener singkatannya. Tak lama kami bertemu dengan Pa Amril, Beliau mengajak kami ke ruang tunggu khusus yang di sebuah meja panjangnya tersaji penganan dan dispenser berisi kopi panas. Akumenawari Bowo untuk mencicipi kue tapi Ia menolak karena perutnya sudah penuh.

Satu persatu tamu memasuki ruangan, ada Bu Loly kepala SD Ade Irma Tebet yang jadi salah satu pembicara, Profesor Conny Semiawan, Utami Munandar, Indra Jati Sidi, Fasli Jalal Pak Rikrik Rizkiyana yang seorang Lawyer tapi peduli apda dunia pendidikan, pendiri sekolah gratis bagi kaum duafa ‘Cugenang Gifted School’ dan ada seorang perempuan muda tinggi cantik yang ternyata putrinya Prof. Arief Rahman yang datang mewakili ayahnya yang tak bisa hadir karena tengah menghadiri suatu pertemuan di Doha-Qatar.

Sebelum acara dimulai, Pa Amril mengenalkan aku dan Bowo ke Prof. Conny. Aku sempat memperlihatkan manuskrip novel Bowo dan ternyata Prof Conny begitu antusias mengenal Bowo lalu Beliau mengajak Bowo untuk datang ke UI pada hari Rabu 15 Desember 2010. Kami menyambut baik ajakan Beliau dan berjanji untuk datang menemuinya pada hari yang ditentukan.

Tepat jam 09.00 WIB acara dibuka oleh MC dan dilanjutkan dengan sambutan dari Pa Amril Muhammad selaku penyelenggara acaradan Sekjen Asosiassi CI+BI Nasional. Pa Amril sempat terisak dan tercekat hingga sulit berkata-katasaat menceritakan pengalamannya yang memprihatinkan saat bekeliling ke seluruh penjuru tanah air untuk menemui para anak berbakat dan ternyata mereka banyak yang belum mendapat layanan pendidikan yang sesuai dengan potensi yang dimilikinya hingga mereka sangat menderita, bahkan ada seorang anak sempat bertanya pada Pa Amril.

“ Adakah obat yang bisa mengubah diri saya menjadi anak biasa saja seperti anak lainnya? “

Acara dilanjutkan dengan penyerahan penghargaan khusus kepada pihak yang telah memberikan kontribusi pada pendidikan anak CI+BI dan penyerahan CI+BI Award kepada tokoh perintis dan pengembang pendidikan anak CI+BI. Satu persatu para penerima CI+BI Award memberikan kata sambutan lalu diahiri dengan sambutan dan pengarahan dari Wamendiknas Prof. Fasli Jalal. Usai pemberian award, acara dihentikanuntuk rehat sejenak.

***

Pada seminar sesi ke satu, aku menjadi pembicara pertama. Sebelumnya aku mohon maaf kepada Bowo karena akan membuka riwayat hidupnya di hadapan peserta seminar dari seluruh penjuru tanah air. Aku bercerita bagaimana suka dukanya membesarkan seorang anak seperti Bowo yang baru kukenali jatidirinya di usia dua belas dan hingga di usia ke empatbelas, Bowo masih dirundung banyak masalah di sekolahnya. Ketika aku berada di titik pasrah untuk menerima Bowo apa adanya, mulailah potensi Bowo yang selama ini kuabaikan mulai memancar. Aku berusaha dalam keterbatasan mencarikan jalan bagi putraku untuk menapaki peta kehidupan yang diinginkannya danAlhamdulillah masyarakat merespon dengan baik.

Saat mendapat giliran berceramah, Bowo memulainya dengan mengucap syukur ke hadirat Illahi atas kesempatan yang diberikanNya, lalu Ia mengucap salam kepada audiens yang rata-rata bergelut di bidang pendidikan dan para orangtua yang peduli pada perkembangan anaknya. Selanjutnya Bowo berkisah tentang pengalamannya dalam kehidupan (dalam bahasa Inggris).

“ Orang-orang banyak yang melabeliku gila, ADHD dan lainnya. Di sekolah banyak orang membullyku seperti..akhhh…” Bowo tak melanjutkan kata-katanya, lehernya seolah tercekat dan nada suaranya melemah sambil kepalanya menggeleng-geleng menahan memori buruk yang sekian lama dipendamnya.

“Mereka pikir aku orang gila…tapi itu tidak benar…aku hanya ingin melakukan sesuatu pada kehidupan yang sudah begitu kritis…aku ingin mengubah dunia yang telah dipenuhi orang-orang seperti Gayyusss …!” Mendengar penuturan Bowo, Audiens tertawa tergelak-gelak.

“ Aku telah membuat novel The Chronicles Of Willy Flarkies…sungguh aku tak peduli pada teknis penulisannya, aku lebih peduli pada pesan moral yang kusisipkan dalam novel itu. Banyak orang mencela novelku…mereka buta, tak dapat melihat karena mereka pintar secara teoritis dan bilang bahwa semua anak bisa membuat novel seperti Willy Flarkies. “ Bowo menarik nafas sejenak.

“ Aku menderita…hidupku amatlah getir…aku adalah anak yang menderita… di sekolah sering dibully karena dianggap sebagai sumber masalah dan dalam kehidupan jadi serba salah…kecuali ibuku yang mau menerimaku apa adanya hingga aku bisa  membuat novel, melukis dan aku melakukan apapun yang bisa kulakukan dalam hidup ini sampai aku bisa berada di forum terhormat ini.” ungkap Bowo sambil menahanrasa sedih.

“ Aku telah diliput berbagai media elektronik dan cetak. Oh… sebelum tahu hal ini, sikap guru-guruku bila menyapaku, ‘ Saatttrriiooo Wiibbooowwwooo….’ (Bowo mengekspresikan wajah dan suaranya sangat menyeramkan). “ Tapi setelah aku agak terkenal, sikap mereka berubah manis dan ramah, ‘ Satrio Wibowooo…kamu memang siswa yang baiikk…’ “Audiens kembali tergelak mendengar cerita Bowo yang dibawakannya dengan gaya teatrikal.

“ Banyak orang meragukan masa depanku, padahal aku punya rencana masa depan, yaitu ingin memperbaiki peradaban melalui perubahan sistem pendidikan yang tidak seperti saat ini, terlalu dipenuhi aturan yang tak perlu seperti memasalahkan seragam dan rambut. Lihat rambutku…apa yang salah dengan model rambutku yang gondrong ini?Sementara di sekolah banyak temanku yang kepalanya botak…lalu masalahnya dimana…? “ ujar Bowo sambil tangan kirinya membelai-belai rambutnya yang mulai Ia gondrongkan semenjak menjadi home schooler.

“ Sekolah saat ini terlalu banyak diberi aturan yang tak perlu…mengapa siswa tak diberi tantangan yang kreatif? Siswa jangan terlalu banyak dijejali teori…Sekolah itu harus menyenangkan dan siswa harus diberi kesempatan untuk memahami ilmu pengetahuan…!Tidak seperti ….” Bowo memperagakan sikap gurunya yang kasar dan arogan, sering membentak murid dan mengusir dari kelas kalau lupa membuat PR.

“ Pesan terakhir …Kalian sebaiknya mengubah cara mengajar, jangan lagi bersikap kasar…. Dengan cara ini para siswa akan mencintai para guru dengan tulus…. Cintailah para murid dan bersabarlah…Sekolah penuhilah dengan rasa cinta…Apa yang kita miliki dan apa yang kita lakukan selalu selimutilah dengan rasa cinta…hingga tak kan ada lagi kisah siswa yang dilecehkan…Sebelumya aku mohon maaf bila telah berbicara panjang lebar….Guys…dan hadirin…terimakasih atas perhatiannya…Wasalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.” Bowo menyudahi ceramahnya dengan senyum lugu seorang remaja dan disambut tepuk tangan para audiens.

Saat jeda ISOMA, beberapa orang peserta seminar menghampiri aku dan Bowo, mereka memberi selamat kepada Bowo sambil menanyakan les bahasa Inggris di mana? Dengan jujur Bowo menjawab tak pernah les dimana-mana. Beberapa orang ibu curhat padaku tentang kondisi anaknya yang masih sulit dipahami, bahkan ada seorang ibu yang airmatanya hampir menitik saat bercerita. Aku memahami apa yang mereka rasakan, saat membesarkan Bowo, akupun serasa menelusuri lorong labirin yang tak berpintu, karena sulitnya mencari referensi tentang keberbakatan anak dan teman untuk curhat. Untuk itu aku bersedia menjadi teman curhat mereka di Facebook meski aku bukanlah seorang ahli.

Seminar diakhiri pada jam empat sore setelah diisi oleh ceramah dari empat pembicara lainnya. Aku dan Bowo melangkah, meninggalkanSekolah Diponegoro sambil menembus tabir gerimis. Kembali kami menaiki taxi, tapi hanya sampai Stasiun Gambir karena Bowo ingin pulang naik kereta. Di taxi Bowo tertidur pulas di pangkuanku…entah Ia bermimpi apa.

Sambil memandangi wajah Bowo yang lugu, aku tersenyum-senyum mengingat ulahnya. Ia baru saja mengobok-obok emosi audiens dengan gaya bicaranya yang teatrikal, mulai dari memberi sensasi rasa haru saat Ia bercerita tentang penderitaannya sebagai seorang anak berbeda hingga audiens turut larut dalam kesedihan, ruanganpun menjadi sunyi senyap dan saat Bowo menirukan ulah para guru yang sering membullynya dengan ekspresi mimik yang konyol, audienspun tertawa tergelak-gelak hingga ruangan menjadi meriah. Bowo pun tanpa grogi dan sungkan memberi wejangan kepada para peserta seminar yang usia dan pendidikannya berlipatdi atasnya. Untunglah Ia berbicara dalam bahasa Inggris, kalau dalam bahasa Indonesia, betapa hebohnya nanti saat Bowo mengatakan ‘Anda atau Kalian ‘ kepada audiens hingga terkesan tidak sopan. Hari itu Bowo seperti baru melunasi hutangnya, setahun lalu Ia masih sering dimarahi dan diberi wejangan oleh gurunya dan siapa sangka kalau hari itu Bowolah yang memberi wejangan kepada para guru serta pejabat dinas pendidikan se Indonesia. Yang mengherankan adalah banyak diantara mereka yang mengatakan setuju dengan gagasan nyelenehnya Bowo tentang sistem pendidikan.#

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline