Lihat ke Halaman Asli

Toxic Parents

Diperbarui: 17 Juni 2015   13:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="450" caption="tometotheweathermachine.com"][/caption]

Seorang teman curhat  tentang ibundanya yang selalu menganggapnya sebagai 'anak durhaka' dan tak pernah menghargai kebaikan yg dilakukan sang anak. Hingga iaakhirnya memilih menjadi anak durhaka untuk memuaskan sang bunda.

Jujur saya sangat tertohok... jika ibu tersebut seumur hidupnya tak pernah menyadari kesalahan yang ddilakukannya pada sang anak, apakah tak menutup kemungkinan bila sang anak pun akan meniru perilaku sang ibu? Tentu mata rantai  lingkaran setan tak akan pernah terputus. Biasanya pelaku merupakan korban dari pengalaman traumatik yang dialaminya lalu berlanjut ia mencari korban dan korban berlanjut menjadi pelaku...begitu seterusnya.

Benarkah di muka bumi ini hanya ada ‘ Anak Durhaka’...apakah tak ada ‘Orangtua Durhaka?’ Seringkali anak tak berdaya bila sudah dilabeli sebagai anak durhaka, padahal kriteria durhaka sendiri sangat relatif. Bila seorang anak telah melakukan kebaikan tapi orangtua tetap menilai sebagai keburukan, tentu anak tsb di mata orangtuanya tetap berpredikat ‘anak durhaka.’

Jadi teringat pada sebuah buku berjudul ‘ Toxic Parents’ karya Susan Forward. Susan mendefinisikan toxic parents sebagai orangtua yang perfeksionis dan ambisius, hidup dalam ilusi kesempurnaan, hanya memikirkan kepentingan dirinya, selalu menuntut anak untuk memenuhi target yang ditetapkan demi gengsi dan kepuasan pribadi. Tak memberikan kesempatan pada sang anak untuk tumbuh menjadi dirinya sendiri. Dalam proses tumbuh kembang sang anak dipenuhi kekerasan mental dan fisik yang dilakukan oleh orangtua.

Seorang anak yang terperangkap dalam lingkungan tidak sehat karena mentalnya selalu diracuni orangtuanya, ia  akan tumbuh menjadi anak pendendam, kurang percaya diri, pencemas, tidak bisa memaknai arti cinta dan mudah mentolerir perlakuan kasar dan berujung pada depresi dan gangguan mental akut. Dan yang lebih penting lagi, para anak korban kekerasan fisik dan mental oleh orang tuanya akan menanggung luka bathin dua kali lipat seumur hidupnya. Mengapa? Karena sang anak merasa tak berdaya untuk membela dan merehabilitasi diri.

Duh...jangan-jangan saya pun toxic parents...maafkan ibumu ya nak...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline