Lihat ke Halaman Asli

Perang Melawan Lupa!

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernahkan kita terpikir, bagaimana buku hadir ke dalam alam kesadaran kita? Menggugah, atau mengajak kita siuman dari "kelupaan" terhadap hal-hal yang layak kita ketahui, bahkan penting kita sadari. Kita pun pasti bersepakat bahwa buku adalah "ibu kehidupan", yang mengajarkan kita tentang banyak hal. Karena itu, saya ingin mengenalkan sebuah buku baru yang akan launching di Gramedia Matraman, Jakarta, pada 12 November 2011.

"LUMPUR" adalah sebuah novel, buku pertama dari trilogi tanah dan cinta yang penulisnya persembahkan kepada "Mereka yang mulia yang mencintai tanah air dan kampung halamannya," seperti tertulis dalam halaman pesrsembahan novel itu.

[caption id="attachment_140747" align="alignleft" width="300" caption="Cover Depan"][/caption]

Adakah di dunia ini orang yang rela kehilangan tempat tinggal dan kampung halaman? Pertanyaan ini berbunyi nyaring di kepala warga kampung-kampung karam itu. Mereka tak mengerti harus merumuskan dengan cara apalagi guncangan kepedihan dalam jiwa sanubari. Kehilangan, kalimat ini berat dan menyesakkan … Lalu, dimana pembelaan? Dimana rasa ikut getir orang-orang mulia di negeri ini? Di mana para moralis, adakah mereka mencium aroma pekat lumpur di Porong? Di mana LSM, Advokad, dan insan Pers beraktivitas? Di mana sentuhan lembut ulama dan rohaniawan yang sangat taat terhadap keseimbangan relasi alam dan manusia, ke mana pikiran cerdas para akedemikus? Di mana politikus yang konon sanggup membela orang-orang lemah dan loyal menjaga kepentingan publik? Di mana Presiden …? Inilah pertanyaan yang pertamakali dilontarkan Yazid R Passandre dalam novel  “LUMPUR”.

Pertanyaan penulis itulah yang mungkin menggugah sejumlah tokoh untuk mengapresiasi dan ikut menuliskan komentarnya. Sastrawan yang dikenal halus tutur sajaknya, D. Zawawi Imron, juga ambil bagian untuk melukiskan kata hatinya dalam novel itu. “Kemanusiaan tak cukup dengan rasa simpati, tapi juga merasakan penderitaan orang lain sebagai penderitaan kita sendiri.” Tak cukup dengan komentar, sang penyair Celurit Emas dari Madura itu bahkan menyumbangkan lukisan tangannya sendiri pada cover novel “LUMPUR”.

Selain itu, sang cendekiawan dan guru bangsa, Ahmad Safi’i Maarif, juga turut membubuhkan komentarnya. “Akibat perselingkuhan uang dan kekuasaan, derita rakyat kecil yang terkena dampak Lumpur Lapindo seperti telah ditelan waktu, semakin lama semakin dilupakan. Inilah kultur bangsa yang tunamoral dan tunanurani, seperti tergambar secara tajam dalam novel ini.”

Komentar senada yang tak kalah nyaring juga muncul dari Rizal Ramli, mantan Menteri Perekonomian RI dan Ketua Komite Indonesia Bangkit (KIB). “Novel ini bertutur kuat tentang perlawanan terhadap ketidakberesan, ketidakadilan dan pembiaran. Ada pesan fundamental: Manakala kebudayaan dan kemanusiaan digadaikan sekadar untuk kepentingan korporasi dan kekuasaan, saat itulah denyut dan roh kehidupan sebuah bangsa terhenti.”

Malas bertele-tele, Prof. Daniel M Rosyid, P.hD, Guru Besar ITS, Surabaya, dalam komentar pendeknya dengan ringkas menyimpulkan. “”LUMPUR” adalah novel sejarah, dan upaya gigih perang melawan lupa.”

[caption id="attachment_140748" align="alignright" width="300" caption="Gramedia Matraman"][/caption]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline