Manusia membaca untuk memahami eksistensi dan menulis untuk memperjelasnya.
Manusia diciptakan dengan perbedaan atau penilaian manusia yang menciptakan perbedaan? Sama halnya, ketika seorang anak hamba Tuhan bertanya. Mengapa manusia tidak diciptakan dengan satu pemahaman yang sama, sedangkan hakikat Pencipta kita itu satu dan sama?
Sang Pencipta telah memperjelas eksistensiNya sekaligus menerangkan eksistensi manusia. Dalam Islam, Sang Pencipta memfirmankan bahwasanya manusia diciptakan olehNya dengan perbedaan supaya manusia saling mengenal. Dan yang terbaik menurut penilaianNya adalah manusia yang paling taat/taqwa. Disini, Tuhan telah memperjelas eksistensiNya sebagai pencipta atas segala perbedaan yang terdiseminasi ke seluruh penjuru jagad raya. Sekaligus, Tuhan menerangkan eksistensi manusia sebagai makhluk yang berbeda dan dituntut untuk taat padaNya.
Perbedaan pada diri setiap manusia ada untuk saling dikenali, bukan dinilai.
Seorang petani dapat mengenali pelbagai macam jenis pupuk organik. Namun untuk menilai, satu petani dengan petani yang lain pastilah muncul perbedaan atas penilaian. Subjektivitas.
Proses pengenalan antara satu individu dengan individu yang lain maupun kelompok ini merupakan bentuk membaca secara konstruktif. Manusia akan saling membaca satu sama lain untuk dapat memahami eksistensi. Lantas, mengapa disebut konstruktif? Karena disana manusia melibatkan akal dan atau rasionalitas. Proses membaca ini nantinya akan melahirkan apresiasi. Dan apresiasi merepresentasikan eksistensi. Eksistensi berupa karakter/watak, peran, kemampuan, dsb.
Hakikat manusia sebagai makhluk yang berbeda telah menjadi skema Tuhan yang tak dapat diintervensi. Bahkan, rasio manusia terkadang malah menjadikannya sukar untuk memahami dirinya sendiri. Maka dari itu, manusia akan menulis untuk memperjelas eksistensinya. Pemahaman atas apa yang ia baca dan berusaha manusia ekspresikan akan dapat diperjelas, ketika manusia mau menuliskannya.
Seandainya, manusia tercipta hanya untuk eksis sebagai pembaca. Maka, proses pengenalan itu akan cenderung statis dan mengalami stagnansi. Itu tentu menyalahi foundamental destiny seorang manusia. Dengan demikian, manusia menulis untuk mendinamisasi perbedaan itu. Wajar apabila, semakin bertambah usia jagad raya, maka semakin plural pula manusianya, rasionalitasnya, pemahamannya. Sebab manusia akan menjadi penulis manusia lainnya. Agar eksistensi dirinya dan manusia lain bisa diperjelas dengan setiap deret kata yang dituliskannya.
Oleh: Rizky Saputra
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H