"Memajukan budaya literasi harus menjadi tanggung jawab bersama," Sofian Munawar, 2016
Gagasan untuk mendirikan perpustakaan alternatif di level komunitas tentu relevan dengan kondisi saat ini dimana minat baca masyarakat masih memprihatinkan. Hadirnya "ruang baca alternatif" tentu menjadi angin segar yang membawa harapan melegakan bagi bangkitnya budaya literasi. Munculnya Taman Baca Masyarakat (TBM) dengan beragam variannya menawarkan ruang-ruang baca alternatif secara kreatif. "Kuda Pustaka" yang digagas Ridwan Sururi di seputar lereng Gunung Slamet di Jawa Tengah dan "Perahu Pustaka" yang digagas Muhammad Ridwan Alimudin di wilayah Kabupaten Polewali-Mandar, Sulawesi Barat merupakan contoh kreativitas masyarakat dalam membumikan budaya literasi.
Di Tatar Jawa Barat, Forum Taman Baca Masyarakat (FTBM) juga mulai menggeliat. Di Bandung, Mang Yayat Sehati banyak berkreasi melalui "Tahu Pustaka". Di wilayah Garut Selatan, ada Komunitas Ngejah yang digagas Nero Taopik. Di Tasikmalaya ada Rumpaka Percisa yang digagas Vudu Abdul Rahman. Di Sukabumi, Aris Munandar berkibar dengan Taman Bacaan Masyarakat "Matahari Pagi". Demikian juga di Kuningan, Kang Zeze dan Imam Muhammad Agung membangun Hipapelnis-Kalimanggis dan bahkan dengan Kampung Literasinya yang sangat progresif dipadukan dengan program Kolecer (Kotak Literasi Cerdas), salah satu Program Literasi dari Provinsi Jawa Barat.
Di Kota Banjar pun kami tidak mau ketinggalan mendirikan Ruang Baca Komunitas yang juga dimaksudkan sebagai salah satu perpustakaan alternatif. Semangat awalnya adalah menjadikan Ruang Baca Komunitas sebagai tempat alternatif untuk belajar, berbagi, dan bersinergi bersama. Dengan motto: Reading, Sharing, Networking, Ruang Baca Komunitas diharapkan dapat turut memacu kegemaran membaca di level akar rumput. Semua ini tentu tidak lepas dari semangat untuk turut mendorong tumbuh-kembangnya budaya literasi sebagai salah satu kunci untuk meraih kemajuan.
Di setiap kota memang sudah tersedia perpustakaan daerah. Di beberapa tempat bahkan perpustakaan umum sudah sampai di tingkat kecamatan, desa dan kelurahan selain juga sudah tersedia di setiap sekolah. Namun kondisi umum yang ada sekarang menunjukkan bahwa keberadaan perpustakaan masih dipandang sebelah mata. Minat masyarakat untuk mengunjungi perpustakaan masih tergolong rendah. Menurut hasil kajian Biro Pusat Statistik (BPS, 2015) budaya literasi di Indonesia masih rendah. Hal ini antara lain ditandai oleh kultur membaca dan mengunjungi perpustakaan di Indonesia masih sangat rendah, yakni 25,1 persen. Menurut hasil kajian itu, sebagian besar masyarakat mengaku kunjungan ke perpustakaan hanya dilakukan dalam rangka mengerjakan tugas-tugas sekolah.
Dalam kaitan ini, kehadiran dan keberadaan Ruang Baca Komunitas tentu bukan untuk berkompetisi dengan perpustakaan yang sudah ada, tapi justru untuk membangun sinergi dan saling melengkapi fungsi dan peran perpustakaan. Dengan sinergi dan semangat kebersamaan ini diharapkan minat baca masyarakat senantiasa terus terdorong. Tumbuh kembangnya kegemaran membaca (reading habit) tentu akan menjadi prasyarat bagi terbentuk dan terbangunnya masyarakat pembelajar (reading society) sebagai salah satu modal utama untuk meraih kemajuan.
Sejak Ruang Baca Komunitas kami dirikan 4 April 2015, beragam kegiatan literasi telah kami selenggarakan. Kegiatan utama, selain pelayanan perpustakaan kami menyelenggarakan kegiatan rutin bertema "DisKo" atau Diskusi Komunitas. Bentuk kegiatannya semacam diskusi informal seputar dunia pendidikan, terutama dihadiri anak-anak di komunitas terdekat. Diskusi lebih besar lagi kami selenggarakan secara tematik dihubungkan dengan momentum tertentu sehingga nyaris tidak ada bulan dan minggu kosong tanpa kegiatan literasi di tempat kami.
Kegiatan paling massif dan cukup menyedot perhatian yang kami lakukan adalah Literasi Ramadhan dengan tema spesial "Mengisi Bulan Suci Dengan Kegiatan Literasi". Ada banyak kegiatan, seperti aneka lomba untuk anak, mulai level PAUD/TK, SD, SMP, Strorytelling, dan pelatihan jurnalistik untuk pelajar tingkat SLTA. Acara seperti ini tentu dapat terlaksana karena dorongan, sokongan dan partisipasi banyak pihak, baik dari siswa-siswi, para guru, unsur pemerintah, para donatur, media, maupun masyarakat pada umumnya.
Kegiatan literasi yang kami lakukan, bahkan kini tidak hanya di internal komunitas saja, tapi telah merambah ke sekolah-sekolah dan komunitas lainnya seperti kampus dan pesantren terutama melalui kegiatan "Safari Literasi". Selama dua tahun terakhir ini kami telah melakukan kegiatan Safari Literasi ke 52 sekolah dan 5 pesantren. Misi utama safari literasi adalah untuk "memprovokasi" masyarakat, terutama kalangan pelajar di Kota Banjar agar senantiasa mencintai buku dan mengapresiasi kegiatan literasi. Hasilnya cukup menggembirakan dengan munculnya dukungan dan sokongan dari komunitas sekolah, pesantren, kalangan media maupun masyarakat akan pentingnya gerakan literasi.
Dari rentetan kegiatan Safari Literasi yang kami lakukan ke sejumlah sekolah itu saya meyakini adanya potensi luar biasa di kalangan siswa dan santri. Di sejumlah sekolah saya meyaksikan sendiri siswa-siswi pintar dan berbakat dengan kegemaran membaca yang cukup membanggakan. Sebagian mereka sudah terbiasa dengan kegiatan literasi: membaca, mereview buku, mempresentasikan hasil bacaannya di bawah bimbingan para guru pembina literasi secara terarah dan terprogram. Situasi seperti ini tentu sangat membanggakan. Menyaksikan situasi dan kondisi seperti ini saya tentu merasa bangga dan memiliki harapan besar bahwa budaya literasi ke depan akan mengalami peningkatan secara signifikan.