Besok Bangsa yang besar ini akan memperingati Hari Pahlawan, 10 November 2021. Tentunya sama seperti tahun 2020 kemarin yang berada di suasana pandemi Covid-19, tahun ini sepertinya juga peringatan ini dilaksanakan dengan sederhana, hikmat, mematuhi protokol kesehatan dengan ketat. Dan yang terpenting, arti dan implementasi hari Pahlawan itu sendiri.
Untuk generasi milenial yang sudah jauh dari generasi pelaku perang kemerdekaan, jauh dari saksi hidup (bisa jadi kakek-nenek keluarganya yang dulu ikut berperang di era 40-an, telah tiada) sehingga jejak kepahlawanan hanya bisa didapatkan dari "saksi bisu" sejarah yang ada, seperti museum, buku sejarah, film dokumenter perjuangan dan literasi lainnya.
Tentu berbeda dengan generasi sebelumnya, generasi tahun 80-an atau 90-an, masih ada generasi "saksi hidup" pelaku perang kemerdekaan yang terlibat langsung , jadi bisa mendengar langsung dari beliau dengan penuh penghayatan (emosional). Kalau bahasa fiksinya, dapat ruh-nya!
Terus, kalau kebanyakan generasi milenial tidak bisa merasakan ruh heroiknya perjuangan memperebutkan kemerdekaan bangsa ini, bagaimana generasi ini dapat menghargai perjuangan pahlawan? Sebuah tantangan di era serba digital bagi generasi orangtua (generasi tahun 70-an sampai 90-an) untuk mewariskan ruh semangat perjuangan bangsa.
Penulis sendiri dengan pengalaman pribadi yang pernah mendengar langsung dari kakek, Mbah Moh.Komari (alm), bahwasanya zaman perang adalah zaman yang paling pahit dalam kehidupan. Tidak ada seorangpun yang menginginkan hal itu terjadi. Tapi kok terjadi,-- kata beliau--sebagai orang kecil hanya "manut" saja pada pimpinan. Beliau, kakek saya, saat perang agresi Belanda II, tahun 1948 sudah berusia 18 tahun bertugas mengamankan kaum ibu dan anak-anak di wilayah desa kami. Saat malam, biasanya berjaga bersama puluhan pemuda dan saat siang kondisi gawat, mengarahkan ibu dan anak-anak bersembunyi di gua buatan di belakang rumah (semacam bunker).
Itu sedikit kisah beliau yang penuh heroik, saya ikut bangga. Untuk saya sendiri, masih malu belum bisa memberikan kontribusi besar pada bangsa ini, yang perlu pembenahan besar untuk menjadi bangsa besar tanpa melupakan jasa besar para pendahulu, para pahlawan bangsa. Kita dengan pekerjaan masing-masing bisa berkarya maksimal untuk bangsa dan negara ini dengan meneladani ketulusan berjuang, ikhlas tanpa pamrih dan mengorbankan jiwa demi kemerdekaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H