Pembelajaran di kelas tetiba terhenti saat ketukan pintu keras terdengar. Pak Nemo, humas sekolah bilang bahwa aku dipanggil kepsek di ruang rapat. Suaranya yang keras disambut nada kecewa para siswa yang tengah asyik belajar dengan gayaku. "Sekarang juga, Pak!" wajah pak Nemo kehilangan pesonanya tanpa senyum yang biasa ia tebar.
Ruang rapat begitu senyap. Wajah-wajah tegang para guru dan staf yang hadir, membuatku kaget. Aku menuju sebuah kursi kosong, namun pak Tugiman, kepala sekolah, malah menyuruhku berdiri dengan suara keras. Tanpa sebab yang jelas aku dimarahi. Tuduhannya seabreg. Gak becus ngajar, malas, tidak disiplin, pokoknya semua bertentangan dengan kenyataan. Ditambah Wakasek yang mengolok-olok bahwa aku jomblo abadi. Disusul omelan bertubi dari yang lain yang semua menohokku. Aku berteriak keras karena jengkel sambil kugebrak meja. Riuh rendah sontak terhenti.
Belum selesai kuurai persoalan untuk klarifikasi, pak Tugiman berdiri diikuti yang lain. Bu Irah, guru Seni tiba-tiba masuk diikuti beberapa siswa. Nyanyian lagu ulang tahun berkumandang. Sebuah bolu ultah berhias dua lilin angka tiga yang dibawa Bu Irah, kian mendekat ke arahku. Tak sadar udara terhembus dari dua bibirku. Emosi yang membuncah mendadak jadi haru seiring padamnya api. Pak Tugiman, saat itu iseng berseloroh bahwa Bu Irah cocok menjadi calon pendamping hidupku. Nada setuju serentak memadati gendang telingaku. Aku mati kutu. Sedikitpun tak ada kuasa menolak. Ketidakberanianku menyatakan rasa, terwakili sudah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H