Lihat ke Halaman Asli

Yoyon Supriyono

Kuli kapur

Tabung Oksigen Terakhir

Diperbarui: 10 Juli 2021   10:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

       Malam sudah semakin larut, tapi aku harus terus melajukan sepeda motorku. Dari satu apotik ke apotik lainnya. Hampir semua pelayan bilang, " Maaf Pak, habis!" Bayangan kondisi ayah tak bisa lepas dari mataku. Hanya demi ayahlah yang mendorong raga ini untuk terus mencari dan mencari. Dingin malam aku sudah tak lagi peduli. 

      Aku putar balik sepeda motorku. Kupacu lagi menuju apotik yang pertama. Walaupun harus lama mengantri, setidaknya masih ada harapan untuk mendapatkannya. Mudah-mudahan antriannya sudah mulai berkurang. Begitu harapku sepanjang jalan menuju apotik pertama, yang sempat kutinggalkan karena antriannya panjang.

      Kenyataan berkata lain. Sesampai di sana, kudapati antriannya justru bertambah panjang. Tapi apa boleh buat. Cuma ini harapan ayah. Ya Allah, semoga ayah mampu bertahan. Berilah ia kekuatan. Doa ini terasa semakin menyesakkan dadaku.

      Kucoba menghibur diri dengan menyapa pengantri di depanku. Ada kabar yang menghibur, bahwa stoknya masih banyak. Alhamdulillah. Dadaku terasa lega walau hatiku terus menghimpitnya dengan doa-doa sebisaku.

      Satu demi satu pembeli keluar dari apotik dengan bergegas. Seakan semua sedang berpacu dengan waktu. Berburu harapan yang tergantung pada dinding angan yang setia menyisakan kesempatan.

      Tiba-tiba terdengar petugas apotik menyampaikan pesan bahwa tinggal lima buah lagi tersisa. Aku reflek menghitung sisa antrian. Pas. Aku berdiri di urutan kelima. Terdengar nada kecewa dari pengantri di belakangku. Salah seorang memohon kepadaku agar memberikan antrianku padanya. Tentu saja aku tak bisa memberikannya. 

      Tibalah giliranku. Namun, ketika hendak membayar tiba-tiba ponselku berdering. Kulihat di layar. Ibu menelfon.

     "Nak, lupakan saja tabung oksigen itu. Ayah sudah tidak membutuhkannya lagi. Ia sudah pergi, ia sudah tiada ...," suara ibuku terdengar bagai petir yang menyambar.  Aku terduduk lunglai. Ragaku seperti melepas tulang- tulang penopangnya. Aku merasa lemas tak bertenaga. Seribu kunang yang datang tak mampu menjaga sadarku. Pandanganku gelap. Aku tak ingat apa-apa lagi.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline