Lihat ke Halaman Asli

kereta malam

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Hari ini berjalan mengejar hari besok. Sore baru saja berangsur malam. Malam ini, aku kembali dalam perjalanan dari Bandung menuju Jogja. Dengan kereta malam ku pulang sendiri. Duduk dihadapanku bukan seorang ibu yang dengan wajah sendu kelabu dan penuh rasa haru akan menatapku, seakan ingin memeluk diriku. Yang lalu bercerita tentang anak gadisnya yang telah tiada karena sakit dan tak terobati, yang wajahnya tidak mirip denganku, karena aku pria, sedangkan dia wanita.

Suara kereta yang mulai melaju terdengar sahdu. Gejes gejes gejes, kira-kira begitu bunyinya. Berangkatlah semua yang berada di kereta ini meninggalkan Bandung kota kenangan, atau yang lebih dikenal sebagai Bandung lautan asmara. Asmaranya siapa? Asmara kita semua.

Aku melamun sendirian, hal yang lazim dilakukan daripada melamun masal. Teringat pengalaman beberapa tahun lalu, hampir sepuluh tahun, kalau ingatanku ini masih bisa diandalkan. Ingatan antara kejadian masa lalu, kejadian dalam mimpi, serta kejadian masa depan sering terasa penuh distorsi di benakku.

Waktu itu masih kuliah menjelang tingkat dua, aku sedang berlibur, meninggalkan Bandung menuju Jogja juga. Sejak aku kuliah di Bandung, kudengar abangku juga kuliah di Jogja, sehingga aku perlu datang untuk mengecek derajat kebenaran pendengaran itu.

Aku sendirian, cukup senang berperjalanan sendirian karena sangat banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Termasuk di dalamnya hal-hal yang membangkitkan adrenalin dan merefleksikan ego. Termasuk di dalamnya, kemungkinan untuk bertemu calon mertua, yang ketika kutanyakan perihal "jam berapa sekarang?" dia lantas mencoretku dari daftar calon menantu. Tapi, tentunya, pastinya, sudah barang tentu, lebih enak berperjalanan berdua bersama kekasih yang memahamiku, sehingga bisa berkomentar dan tertawa atas apa saja dengan serta merta tanpa dianggap gila.

Terlepas dari itu semua, disitulah aku, alih-alih berada di sebuah terminal aku malah berdiri di sebuah stasiun kereta. Alih-alih berada di Stasiun Hall Bandung, aku malah berdiri di Stasiun Kiara Condong. Alih-alih naik kereta eksekutif, aku malah membeli tiket kereta ekonomi eksklusif. Free seat, katanya di depan loket.

Disitulah aku, sedang berdiri bersama beberapa ratus orang yang memiliki tujuan sama, yaitu naik kereta. Yang sedang menghampar dengan bermacam gaya.
Ningnongnengnong nengnong ningnong
Pengumuman menunjukkan bahwa kereta sebentar lagi tiba. Tepat seperti yang Bang Iwan sampaikan, terlambat lebih sejam, dan itu tidaklah lama.

Saat itulah, langit terasa sangat pekat, sepekat aroma persaingan yang terbawa udara malam mengelilingi jiwa dan raga kami. Aku memutuskan mencari gerbong paling belakang, karena tingkat persaingan di gerbong tengah dari berbagai sisi sangat tidak manusiawi. Maklum, musim liburan. Ternyata banyak orang beraliran sama, yang berbondong-bondong menuju lokasi yang diprediksi persis tempat gerbong paling belakang akan berhenti.

Dari kejauhan kereta terlihat berjalan menuju kedekatan. Kecepatannya masih cukup cepat. Akhirnya satu dua tiga empat gerbong melewati titik kami berdiri. Hingga akhirnya kami sama menyadari bahwa kami berada di titik yang salah. Gerbong paling belakang akan berhenti jauh di depan kami. Maka kami berlari-lari menuju gerbong itu. Salah perhitungan yang fatal. Fatal sekali.

Untung aku telah terbiasa berlari seminggu beberapa kali saat di ospek di kampus, sehingga cukup punya stamina. Sampai kami di pintu masuk. Ternyata untuk naik, kami harus meloncat setinggi satu meter. Sebelum kereta benar-benar berhenti aku sudah menggunakan ilmu meringankan tubuh meloncat, naik ke kereta.

Perihal ilmu meringankan tubuh itu, bolehlah ditanya darimana datangnya. Ilmu ini kudapat saat kelas dua SMA, sewaktu aku menjadi suhu bagi sekitar lima orang murit pake t yang merupakan kependekan dari murat-marit, yang menamakan perguruan kami: Perguruan Bebek Terbang. Bolehlah ditambahkan musik Jreng Jreng sebelum nama itu disebutkan. Misinya menyelamatkan bebek-bebek di seluruh galaksi. Mulia memang. Bayangkan, bebek yang bisa terbang, yang bisa menolong bebek-bebek tak berdaya lainnya, yang mengenakan celana dalam di luar. Saat itulah, saat mengajar di sana, aku jadi menguasai ilmu meringankan tubuh. Memang, seringkali cara belajar yang terbaik adalah dengan mengajar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline