Lihat ke Halaman Asli

Nenek

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Siang beberapa waktu lalu, saya kebetulan makan siang di kantin kopma sebuah kampus di jogja, sedang sendirian. Dalam arah pandang saya, yaitu di depan jalan masuk ke kantin terlihat seorang nenek sedang duduk, di depannya ada sebuah gelas plastik yang berisi recehan pemberian dari orang-orang yang lewat. Gaya pakaiannya yang khas nenek dari jawa membuat saya teringat pada nenek di rumah. Terbesit perasaan sedih di hati saya.

Nenek ini sedang meminta-minta. Setiap melihat seorang yang meminta-minta, serta merta saya langsung mempertanyakan, apakah tidak bisa bekerja? Dalam tradisi yang saya pahami, orang yang meminta-minta merendahkan nilai kemanusiaannya, dalam artian gagal mengenali potensi diri dan kurang rajin mengejar kesempatan. Dalam tradisi agama yang saya ketahui juga, orang yang tidak mampu tetapi menahan diri dari meminta-minta derajatnya lebih mulia daripada yang tidak mampu dan meminta-minta. Tetapi tentu saja dalam kondisi berimbang dan ideal dimana orang yang mampu dengan sukarela memberikan bantuan kepada yang membutuhkan. Sistem di negara kita belum cukup ideal untuk hal-hal seperti itu, untuk pendistribusian tanggung jawab kesejahteraan, serta pengembangan kualitas kemanusian. Pada saat yang sama, manusia kontemporer semakin mementingkan kehidupan masing-masing disebabkan oleh semakin tingginya tuntutan peradaban modern. Tapi itulah warga negara, sering menyalahkan penyelenggara negaranya untuk hal-hal yang diluar kemampuan ybs. Sehingga dengan latar belakang itu, saya tidak bisa memberikan pernyataan sikap yang tegas dalam kasus meminta-minta tersebut. Kembali ke nenek tadi, karena dia sudah berusia lanjut, tentu saja tidak relevan untuk menanyakan kenapa dia tidak bekerja? jadi saya hanya bertanya dalam hati, kemana anakmu? Di mana cucumu? sembari menyelesaikan makan. Setelah itu saya hampiri nenek itu untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan saya. "Nenek, sudah makan?" "Sudah." katanya, giginya terlihat sedikit gelap, mungkin karena sering mengunyah sirih. "Nenek, tinggalnya dimana?" "Di daerah bla bla bla, numpang sama tetangga, tidak punya rumah.” “Kok bisa nek?” “Suami saya sudah meninggal. Saya ini nasibnya buruk." "Nenek anak atau cucunya dimana?" "Tidak punya" "Nenek asalnya dari mana?" "Dari sulawesi tenggara." "Udah lama tinggal disini? "Udah lama, sepuluh tahun, diajak suami saya, waktu itu dia sudah sakit-sakitan, katanya ayo kita tinggal di Jogja. Jadi saya ya nurut suami. Eh, waktu dia buang air di sungai darah tingginya kambuh, tau-tau dia sudah ngga ada" "Nenek masih punya saudara?" "Masih, di kampung." "Kenapa ga pulang aja ke kampung?" "Ndak punya uang." "Berapa biayanyanya buat pulang nek?" "Waktu itu, mungkin tiga juta, mana punya saya uang sebanyak itu. nenek punya no telepon saudaranya?" "Dulu punya, pernah dihubungi, tapi ngga diangkat.” “Sekarang masih ada nomernya?" "Udah ngga ada, nomornya di hape, hapenya saya taroh waktu saya tinggal tidur, eh pagi-paginya hilang. Harganya 500rb." Alamak sedih sekali saya mendengar cerita nenek ini. "Anak asalnya dari mana?" Tanyanya, ternyata dia cukup komunikatif. "Dari sumatra nek." "Oh, ada juga adek saya di sumatra, daerah riau, kerja disana." "Nek sebelum disini kerjanya apa?" "Mana bisa kerja, udah tua. Kalau suami saya kerjanya ngangkutin kayu, sekubiknya 2500." "Nenek kalau punya uang, mau pulang?" "Ya mau, disini saya ga punya siapa-siapa." "Tapi nenek ingat jalan ke kampungnya." "Masih ingat." Kalau diturutkan perasaan hati, ingin rasanya saya membelikannya tiket dan mengantarnya pulang ke keluarganya. Tapi selain waktu, uang sebanyak itu masih cukup besar bagi saya, yang belum bebas dari materi dan prioritas pribadi, dan masih jauh dari mandiri secara finansial. Sehingga hanya saya ambil sedikit uang dari dompet dan memberikan kepadanya. Dia lalu berkata: "Anak, cita2nya apa? Apa mau kuliah, mau jadi dokter?" saya kaget ditanya begitu. "Bukan nek, saya mau insinyur." "Kalau gitu, nanti saya doakan" "Jangan nek, jangan didoakan, biar saya ikhlas." Oh boi, tambah sedih hati saya dibuatnya. Saya lalu cepat berpamitan dan mencium tangannya, sebelum mengucur air irisan bawang bombai. Lalu terbersit pikiran, bagaimana cara menolong nenek ini. Pertama-tama saya kemukakan alasan pada diri sendiri, kenapa nenek ini perlu ditolong, disini nenek ini tidak punya keturunan atau keluarga, yang bisa mengurusnya jika dia bertambah tua nanti. Sementara entah bagaimana negara mengatur pemeliharaannya saya belum mengetahui. Lalu saya berpikir, dengan beban hidup yang dijalaninya, saya khawatir dia akan menyalahkan Tuhan atas penderitaannya, karena dia begini karena mengikuti ajakan suaminya yang merupakan ibadah baginya, karena ternyata meski dia masih sholat dan berdoa, tidak ada dampak terhadap kehidupannya sementara orang-orang ternyata tak ada yang bisa menolong. Lalu, karena saya sudah mengetahui apa yang dialaminya, tentu menjadi wajib bagi saya untuk menolongnya, entah dengan perbuatan, dengan perkataan, atau dengan seminimal-minimal kemampuan, yaitu doa. Lalu saya berpikir, secara kemampuan terlihat terlalu memaksakan diri bagi saya, untuk membiayai dan mengantarkannya langsung ke kampung seorang diri. Sehingga saya perlu solusi lain agar beliau tetap bisa ditolong. Saya memikirkan untuk mengirimkan permasalahan ini ke reality show di televisi yang sering mempertontonkan menolong orang yang tidak mampu, anggaplah itu opsi kedua. Tapi dalam ketidakberdayaa saya, saya juga berpikir lebih jauh, untuk memanfaatkan afiliasi saya, yang beranggotakan orang-orang dari berbagai kalangan, profesi, serta wilayah. Dalam lingkup yang lebih besar, kita lebih punya kuasa untuk bertindak. Mungkin ada yang sedang mencari lahan untuk ibadah. Atau orang-orang yang sudah mapan secara finansial yang bisa menyumbangkan sedikit porsi dari relaxation fee nya, jadi sekedar mendengar berita bahwa nenek ini sudah tiba di tempat saudara-saudaranya. Jadi disinilah saya, mengharapkan saran dan bantuan, seandainya saja bisa. Sebelum saya menjadi terlalu terbiasa melihat nenek itu duduk disitu, sehingga kelak menganggap hal ini sebagai biasa-biasa saja. Jadi di sinilah saya, meyakini bahwa cerita yang dikatakannya 99% benar, dengan satu persen keraguan tersisa dalam ruang bagi manusia yang cenderung meragukan segala sesuatu. Mungkin akan ada tanggapan skeptis, jangan memberikan ikan, tapi berikan dia kail. Tak taulah? Apakah nenek ini masih bisa memancing. Mungkin juga, akan ada tanggapan: menolong nenek ini tidak akan menyelesaikan masalah, yang harus diselesaikan secara struktural, karena masih banyak yang lebih perlu ditolong daripada nenek ini. Tak taulah, ini hanya karena terbersit rasa kasihan saya padanya, dan ingin menolongnya daripada menunggu terlalu lama untuk menolong lebih bayak orang. Dan rasanya, tidak perlu dengan membayangkan bagaimana jadinya bila saya ada pada posisi si nenek untuk mendapatkan perasaan kasihan itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline