Peningkatan kasus pelecehan seksual di Indonesia telah menjadi salah satu momok tersendiri bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya kaum hawa. Berdasarkan Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak, mencatat telah terjadi kasus pelecehan seksual sebanyak 1.411 kasus pada periode Januari-Februari 2022. Kasus pelecehan seksual pun tidak sedikit yang terjadi di ruang publik, ruang yang seharusnya menjadi perlindungan karena menyematkan kata publik di sana. Rasa tidak aman pun muncul dalam benak masyarakat terutama perempuan yang sering menjadi korban pelecehan seksual.
Kita pasti sering mendengar adanya opini penghakiman dari masyarakat yang menyalahkan korban pelecehan seksual. Mereka mengklaim bahwa korban sendiri yang mengundang penyerangan karena pakaian yang dikenakannya atau perilakunya yang dianggap "memikat". Korban malah dipandang sebagai penyebab pelaku untuk melakukan tindakan pelecehan seksual. Kesalahan persepsi masyarakat dalam menyikapi fenomena pelecehan seksual telah tertanam menjadi pemahaman budaya masyarakat dimana perempuan korban pelecehan seksual dianggap sebagai pihak yang salah dalam fenomena ini. Hal inilah yang disebut dengan "victim blaming".
Pengertian dari victim blaming adalah suatu permintaan pertanggungjawaban kepada korban kejahatan atau tragedi atas suatu kasus yang telah menimpa mereka. Victim blaming telah menjadi suatu bentuk pembenaran atas ketidakadilan yang sering terjadi dalam kasus pelecehan seksual. Biasanya hal ini disebabkan oleh kecenderungan untuk berpihak pada pelaku. Mereka berusaha mencari pembenaran dengan memanfaatkan kekurangan pada korban agar korban dapat bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi.
Tindakan victim blaming di Indonesia memang sering kali dilakukan, tidak peduli akan dampak buruk yang ditimbulkan. Seorang korban yang telah menyiapkan diri dan mentalnya untuk angkat bicara demi membela dirinya, malah mendapatkan umpan balik berupa kalimat-kalimat berkonotasi merendahkan serta menghakimi korban, tentu hal tersebut justru akan menghancurkan pondasi yang telah korban siapkan. Imbas kedepannya pun korban-korban lainnya tidak akan memiliki nyali lagi untuk angkat bicara. Jika korban pelecehan seksual terus menerus mendapatkan "victim blaming", lantas bagaimana keadilan dan kebenaran akan terungkap?
Victim blaming merupakan hal yang tidak bisa disepelekan. Selain rasa ketidakpercayaan diri yang timbul dari korban pelecehan seksual, banyak sekali dampak lain yang ditimbulkan. Reaksi negatif yang didapatkan korban dari masyarakat membuat keadaan korban semakin terpuruk, meningkatkan stress, berusaha untuk menarik diri dari lingkungan sosial, dan hal terparah yang akan terjadi yaitu dapat menyebabkan tindakan bunuh diri.
Victim blaming cenderung menjadikan korban pelecehan seksual bungkam atau enggan melaporkan apa yang telah menimpa mereka. Pelaku pelecehan seksual pun merasa bahwa tindakannya dibenarkan dan akan mendorong pelaku untuk melakukannya kembali. Inilah yang menjadikan kasus pelecehan seksual di Indonesia sulit untuk mendapatkan kejelasan dan malah semakin meningkat.
Oleh karena itu, meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia untuk tidak melakukan victim blaming kepada korban pelecehan seksual merupakan suatu hal yang penting untuk dilakukan. Kesadaran masyarakat tentunya dapat dibangun melalui edukasi dalam bentuk video atau disebarkan melalui publikasi jurnal dan media pemberitaan. Pendidikan seks untuk anak usia dini pun perlu untuk dilakukan sebagai bentuk pencegahan terjadinya pelecehan seksual agar kasus pelecehan seksual yang ada di Indonesia dapat menurun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H