Aku tak pernah tahu, mengapa aku diberi nama Renjana. Aku harus tanya siapa? Aku ini ditinggal oleh orang tuaku dan ditinggal di depan rumah Ayahku, tepatnya Ayah angkatku. Apa alasannya? Apa salahku? Ibu angkat juga aku tak punya, Ayah bercerita, istrinya meninggal sepuluh bulan sebelum bertemu denganku. Ayah juga tidak memiliki anak dengan istrinya itu. Aku dan Ayah tinggal di sebuah desa di dekat wisata yang kurang begitu terkenal, makanya sepi, namanya Punthuk Setumbu, di daerah Magelang, Jawa Tengah.
Tiap hari Ayah membuat mainan anak untuk dijajakan di rumah, dititipkan di penjual mainan, kadang kalau musim liburan, kami menjual di Punthuk Setumbu, menikmati keindahan pesona dari alam yang jarang diketahui para wisatawan. Begitu dingin hingga kerap kali kami membawa baju hangat dan meminum minuman hangat sebagai teman kami. Aku paling suka dengan mainan si bebek, lucu soalnya, terbuat dari kayu. Seharusnya anak kecil menyukainya, tapi tidak juga.
Kadang aku kasihan sama Ayah kalau nggak dapat pemasukan, aku pun hanya bekerja di penginapan dekat wisata itu, jarang juga ada yang menginap. Aku pernah ditawari saudara kerja di Surabaya, tapi aku nggak mau ninggalin Ayah, sudah tua, sendiri. Tapi Ayah selalu memaksa agar aku mau, selain gaji lumayan, mungkin aku bisa bertemu orang tua kandungku, mungkin.
Aku selalu bilang tidak ke Ayah dan ke saudaraku, hingga suatu ketika aku bertemu dengan lelaki asal Surabaya yang berkunjung ke Magelang dan menikmati Punthuk Setumbu. Ia nampak bingung karena sendirian dan sepertinya baru kali ini berkunjung.
Kuberanikan diri menyapanya, "Siang Mas, ada yang bisa dibantu? Seperti kebingungan, sendiri ya?" "Iya ni Mbak, saya sedang mencari sesuatu," katanya sembari merogoh kantongnya. "Cari apa Mas? Ada yang jatuh?" tanyaku. Ia mengangguk sambil melihat sekeliling. Raut mukanya tampak sedih saat mencari. Aku masih penasaran apa yang sedang dicari.
"Mas, cari apa? Boleh ku bantu? Apakah benda berharga?" tanyaku sambil melihat kesana-kemari. Ia menjawab, "Iya Mbak, satu-satunya benda berharga yang ku punya entah kemana. Aku memfotonya, padahal jelas hanya itu, sebuah foto lama yang sudah agak kotor, mungkin tadi jatuhnya pas aku sedang mengambil uang di dompet."
"Maaf, foto siapa ya Mas?" tambahku seraya ingin tahu. Ia terdiam dan raut mukanya sedih. Ada yang salah ya dengan pertanyaanku? Aku meninggalkannya tanpa pamit karena aku merasa bersalah. Baru aku melangkah beberapa meter, Ia memanggilku, "Renjana?"
Aku pun menoleh sambil bertanya, "Mas manggil saya?" Ia menggeleng sambil berkata, "Tidak, aku hanya berkata renjana karena aku sedang rindu, rindu bertemu seseorang. Sebentar lagi matahari akan terbit, pasti sungguhlah indah, sayang tempat sebagus ini masih sepi karena belum banyak yang tahu. Sayang juga di kala aku di tempat ini malah kehilangan sesuatu yang berharga."
"Saya pikir Mas manggil saya, nama saya Renjana," sambil kuulurkan tangan berharap menyambut tangannya untuk berkenalan. Ia pun mengambil tanganku dan memperkenalkan diri, "Seto, Renjana dan Seto. Begitu? Nggak usah pakai Mas, panggil Seto saja! Ehm, Renjana? Renjana yang ku maksud bukan ya?" "Kok Seto? Sini kan Setumbu, bukan Seto. Nanti jadi Renjana di Punthuk Seto. Oh iya, maksudnya Seto mencari Renjana? Tadi kok bilang Renjana yang dimkasud atau bukan?" tanyaku sambil menahan tawa.
"Kalau Renjana yang dicari Seto itu kamu, berarti betul," katanya padaku sambil tersenyum. Aku bertanya dalam hati, maksudnya apa ya? Baru sebentar kami menikmati indahnya mentari yang masih malu untuk muncul, tiba-tiba Ayahku menghampiri kami. "Indah bukan? Tak banyak yang tahu soal ini, sayang sekali. Tapi akhirnya Kau sudi ke sini, hanya untuk bertemu sosok di foto ini," kata Ayah sambil menunjukkan foto di tangan kanannya.