Saat teriknya matahari menyengat, seorang Bapak dengan penampilan sederhana berjalan kaki membeli es teh jumbo yang menyegarkan dan harga yang relatif murah. Es itu mungkin sahabat dan salah satu cara menyegarkan jiwa.
Lalu kulihat beberapa pasukan bersenjata sedang berjaga di markas yang sedang ada acara besar dan adanya tenda di halaman itu. Panas terik sudah menjadi sahabat dan telah bersamanya sedari masih menjadi siswa hingga sudah menjadi pekerja berseragam. Gagahnya mereka menghapus rasa panasnya matahari, demi apa yang mereka jaga, demi keamanan jiwa semuanya.
Tanggung jawab dan bersahabat dengan panas dalam waktu yang lama membuat rasa panas itu sudah menyatu di jiwa dan membuat tubuhnya menjadi kebal akan rasa panasnya. Jiwa mereka tetap segar karena rasa kebersamaan dengan tim untuk mengorbankan diri demi sesama, menjadi garda depan demi masa depan.
Malamnya, aku berjumpa dengan seorang kakek penjual sapu yang kelelahan membawa sepedanya dan barang jualannya lalu berbaring untuk istirahat di trotoar di bawah sepedanya. Tanpa alas tidur, tanpa baju hangat. Dinginnya udara malam dan kerasnya trotoar sudah menjadi sahabat kakek entah sejak kapan.
Masihkah kita mengeluh panas, dinginnya udara malam dan kerasnya tempat kita beristirahat? Jika sudah terbiasa maka akan menjadi luar biasa. Itulah sahabat kita yang membuat kita bisa. Sahabat mereka yang belum tentu menjadi sahabat kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H