Ada yang pernah bertanya padaku, "Kenapa aku di sini, bukan di sana?" Di sini dalam artian, aku memilih menjadi istri kedua, tepatnya, sepasang suami-istri meminjamku untuk melahirkan putra mereka, yang tak lain dan tak bukan adalah Om dan Tanteku. Di mana Tante Ana tidak akan pernah bisa mengandung. Sedangkan Om Kusuma sangatlah sehat, bisa untuk memberikan keturunan.
Ku jelaskan dulu pertanyaan tadi. Bukan di sana dalam artian memilih menikah dengan pria yang sangat mencintaiku, tapi cintanya bertepuk sebelah tangan, karena aku amat menyayangi Om Kusuma. Jawabku, "Karena Ia sudah ada di hatiku, sudah menyatu, hampir semua, lalu aku mengatakan padanya bahwa aku sudah jadi bagian di dalamnya." Aku pernah berkata pada Om Kusuma. Begini kataku, "Om tahu, mengapa aku begitu memujamu? Tangis di pipiku tanda rinduku padanya. Semenjak aku berjumpa denganmu, aku merasa kehadirannya menjelma dalam dirimu yang selama ini aku banggakan, yang selama ini melangkahkan kaki bersamaku dalam setiap tugasku. Seirama dalam satu asa. Sapaan dan senyum nan manja tak pernah lelah dilontarkan padaku. Hingga aku berhenti pada satu titik, di mana harus memilih. Bolehkah aku ada di sisimu sampai akhir hayatku?" Duhai kau penguat ragaku, si hijau yang selalu membuatku terpana.
Ya.. si hijau yang dulu adalah manusia di masa lalu ku, yang seumuran dengan Om Kusuma, tepatnya cocok sekali jadi Om, bukan suami. Tapi Beliau telah meninggalkan dunia ini saat berjalan denganku, telah menyelamatkan nyawaku waktu itu. Aku merana tanpa Beliau di sisiku. Padahal kami akan menikah enam bulan lagi sebelum kejadian mengenaskan itu. Tapi aku dikuatkan oleh Om Kusuma, yang dulu adalah seniorku alias pengajarku saat aku masuk di Akademi Militer. Didikan kerasnya malah membuatku menjadi lembek begini. Tak mau bangkit dari kehilangan. Itulah awal kedekatanku dengan Om Kusuma.
Ku namakan kekasihku yang dulu itu si hijau, karena Dia juga pencinta hijau sepertiku. Kami sama-sama pencinta hijau. Dulu Papa dan Mamaku memberi nama padaku juga yang berbau hijau, yaitu Greenita Setyani, si hijau yang berharap selalu setia dengan pasangan. Benar, aku belum bisa melupakan Mas Galang, calon suamiku yang meninggal. Sejak kepergian Mas Galang, Mas Kusuma dan aku semakin dekat, maklum, Beliau yang menggantikan posisi Mas Galang di kantor. Kami bertiga adalah bagian dari TNI Angkatan Darat yang bekerja di kantor. Dari dulu aku dan Om Kusuma selalu nyambung jika ngobrol bareng. Kadang makan siang bareng jika jam istirahat. Hingga suatu ketika Tante Ana memintaku ke rumahnya untuk membicarakan hal penting. Apakah itu? Sepenting apakah? Aku jadi penasaran.
"Om, sebenarnya ada apa? Tante tumben sekali ingin menemuiku di rumahnya, dan meminta Om sendiri yang mengantarku. Tante sakit apa gimana Om?" tanyaku penasaran. Om hanya melontarkan senyumnya, tanpa kata. Aku semakin penasaran. Sampai di rumah mereka, Papaku sudah memberi senyuman padaku, sebagai sambutan. Aku memeluk Papa sambil bertanya, "Papa kok ada di sini? Ada apa ini?" Jawab Papa, "Masuk dulu sayang, itu ada teh hijau hangat menunggu. Tantemu yang menyiapkan minuman kesukaanmu. Oh iya, Papa juga bawakan roti lapis favoritmu. Minum dulu ya!" Aku menelan ludah sambil melihat sajian di meja ruang tamu. Tante memelukku dan mencium pipi kanan dan kiriku. "Capek ya Grin? Sini duduk di sebelah Tante! Minum selagi hangat!" pinta Tante Ana sambil melirik Om Kusuma. Aku menikmati hangatnya teh lalu diam, masih menunggu mereka mengawali sebuah perbincangan sebagai pemecah kebekuan. Oh, hening sekali jika semua diam, mereka tak kunjung memulai pembicaraan, hanya saling memandang seolah bingung siapa yang memulai dan apa yang harus dimulai.
Aku meletakkan cangkir dan memandang Tante, sambil ku beranikan diri bertanya, "Tante, ada apa ini? Jangan semua diam, tolong bicara padaku! Apa info penting itu?" Papa menggigit bibir, mencoba mengawali perbincangan kami, ehm, tepatnya sebuah diskusi ternyata. "Grin, kamu belum punya pacar kan?" tanya Papa pelan. Aku menggeleng. "Lalu hubunganmu sama Dewa itu sebatas sahabat kan?" tambah Beliau. Aku mengangguk. "Lalu Krisna? Kau pernah menolaknya bukan? Siapa tahu Ia masih menyimpan rasa padamu?" sahut Om Kusuma. Aku tersenyum. "Aku tak tahu Om. Dia kan minta pindah ke Kalimantan, agar bisa melupakan aku," jawabku sambil tersenyum kecil.
"Ehm, jadi kosong kan Grin?" tanya Papa sambil tersenyum. "Kalau isi pasti Papa tak kasih tau kan?" gurauku. "Om mau minta tolong Grin. Bisa? Nanti atau kapan kita ke dokter periksa. Maaf sebelumnya. Om dan Tante kemaren dapat kabar buruk dari dokter. Kamu tahu kan, kami belum dikaruniai buah hati? Sudah 10 tahun menanti. Kami ingin Kau membantu kami. Kami hanya percaya padamu Grin. Makanya kami tak mau adopsi. Ada yang kurang dalam rumah tangga kami jika buah hati tak kunjung menemani. Pikirlah dulu!" pinta Om Kusuma dengan mata sayu. "Aku jadi istri kedua Om?" tanyaku dengan sangat terkejut. Om Kusuma mengangguk, sambil menjelaskan, "Tidak seumur hidup. Setelah bayi itu lahir, kisah kita selesai sebagai suami-istri. Gimana?" Aku melirik Papa, lalu memberi kode untuk keluar ruang tamu sebentar.
"Nggak harus jawab sekarang Grin. Maaf, Papa nggak bilang ke kamu. Papa takut kamu marah atau belum siap. Pasti nggak menyangka kan?" "Aku sebenarnya sudah melupakan Mas Galang Pa, berkat Om Kusuma. Aku sepertinya jatuh cinta pada Om Kusuma. Aku ingin menjawab bersedia, tapi hanya sementara, dan jadi yang kedua. Bukan seutuhnya. Nanti aku akan kehilangan lagi. Sedih lagi. Butuh seseorang lagi. Begitu Pa," kataku sambil mengusap air mata. Papa memelukku, aku melihat Om Kusuma dari balik jendela. Om Kusuma menghadiahi dengan senyuman manja. Senyuman yang tak pernah ku duga. Tapi aku mengira, Beliau akan bahagia bila bersamaku. Dari raut wajahnya terpancar kemauan untuk memilikiku, entah kenapa rasaku semakin tak karuan? Apakah aku sudah tertarik padanya? Semakin aku bertemu dengan Om yang satu itu semakin nyaman. Aku ingin segera memiliknya, tapi bagaimana? Aku hanya diminta membantu, jadi jika kami sudah menikah, juga pasti Om tak cinta aku.
Aku semakin bingung, hingga Om Kusuma mendekatiku memberikan senyuman yang lebih lebar dari semula. Aku pun membalas senyumnya, ku yakin senyumku lebih lebar darinya. Kami saling menatap mata, oh, indahnya dunia. Papa sadar akan kehadiran Om Kusuma, lalu meninggalkan kami berdua. Aku memberikan jawaban pada Om Kusuma sekarang juga, "Tak perlu lama Om, aku jawab sekarang ya?" Om Kusuma mengiyakan dan masih melemparkan senyum padaku. Aku melirik Tante Ana, Beliau memberi anggukan. Aku menjawab "Iya Om, saya bersedia menikah dengan Om, jika aku sehat. Aku bahagia, tapi entah mengapa tadi aku nggak bisa berkata." Om Kusuma tersenyum, aku pun memeluknya.
Kami pun resmi menikah, senyumku sangatlah lebar bisa memilikinya, walau tak seutuhnya. Aku juga bahagia, Dewa, sahabatku jauh-jauh datang dari Kalimantan untuk memberiku selamat. Rasa kangen akhirnya terobati, maklum, Dewa tinggal di pulau yang sinyalnya kadang ada dan kadang tidak. Jadi komunikasi kurang lancar. Aku dan Dewa terpisah sejak kami lulus SMA, kami di jalur yang berbeda. Tapi gelar sahabat masih melekat, sekalipun aku sudah menikah. Tapi aku akan selalu jaga sikap, jangan sampai terlalu dekat dengan sahabat.