Lihat ke Halaman Asli

Nina

Ibu Satu Anak

Saya Juga Bicara dan Menulis dengan Bahasa Anak Jaksel

Diperbarui: 17 Januari 2022   22:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

I told everyone kalo saya anak Jaksel. I mean, I was born di Kelapa Gading, tapi jadi anak Jaksel sejak SD meskipun akhirnya settle down di Depok. Terlalu ke Selatan haha.

Tapi bahasa bilingual udah jadi kebiasaan karena di beberapa occasions, English is easier to use. Contohnya kalau sedang marah. Soalnya Bahasa Inggris lebih straightforward, lebih ekspresif kalau dipakai marah. At least untuk saya. Anak saya dan teman-teman saya sudah hafal kalau saya tiba-tiba switch ke Bahasa Inggris berarti saya either marah atau frustrasi. Bahasa Indonesia terlalu halus, terlalu sopan dan terlalu indah buat saya untuk dipakai marah. Sayang.

Kalau sedang bicara di depan umum, dan saya nervous, maka speech saya jadi campur. Makin panik, makin kecampur. Dalam tulisan, kalau menulis pakai prompt dan harus menulis tanpa henti, bahasanya juga jadi campur. Kalau bingung, yang keluar Bahasa Inggris. Kenapa? Upon searching on Google, katanya hal ini terjadi tanpa sadar dan tanpa direncanakan, kalau seseorang punya high-proficiency in both languages. Bisa juga kalau kita mau mencoba fit in, misalnya ketika saya berkunjung ke kampung halaman dan bertemu keluarga yang majority bicara bahasa Jawa. Kalau bicara dengan mereka, ya saya jadi menggunakan bahasa Jawa.

Mungkin, alasan yang paling tepat buat saya adalah karena tidak semua concept dapat diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa yang lain dengan sempurna. Ada ekspresi yang lebih enak dikemukakan dalam bahasa Inggris (atau bahasa lainnya), ada juga yang hanya ada di Indonesia. Apalagi di generasi K-pop dan K-drama, kata-kata dalam bahasa Korea juga sering ikut tercampur. Kalimat macam "Eotohhke sih ini?", "Ya gwenchanha lah, mau gimana lagi?" sering juga muncul dalam hidup saya sehari-hari.

Kalau dibilang ini fenomena baru dan lebih sering dipakai oleh Gen Z, saya kurang setuju soalnya saya orang tua-nya Gen Z haha. Justru anak saya, yang sekolahnya international, somehow punya Bahasa Indonesia yang baku, baik dan benar. I've been using bahasa campur-campur gini for a while, even before this became a "trend".

Lalu bagaimana nasib bahasa Indonesia?

Sepertinya akan baik-baik saja. Soalnya kalau saya bicara bahasa campur-campur di depan audience yang tidak paham both bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, kan jadi percuma ya. Maksud saya tidak akan tersampaikan. Jadi jika saya tahu lawan bicara saya tidak bisa bahasa Inggris, ya sebisa mungkin saya akan menggunakan bahasa Indonesia.

Let me tell you percakapan antara saya dan anak saya (yang sekolahnya international itu), beberapa waktu lalu saat sedang main game RPG.

"Kita ke kota X aja biar bisa finish 2 quest sekaligus. Sekali tepuk dua lalat."

"Mengapa jadi sekali tepuk dua lalat, Ma?"

"Di bahasa Inggris ada Killing two birds with the same stone kan?"

"Oh, saya paham. Karena di Indonesia ada lebih banyak lalat ya?"




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline