Lihat ke Halaman Asli

Siapa yang Tak Benci Polisi?

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kata orang holiday adalah waktu untuk bersenang-senang. Tapi kenyataan yang terjadi padaku tidak seperti yang mereka bilang. Holiday membawa duka, inilah kalimat yang cocok untukku. Mengapa? Aku juga masih bingung kemana harus mencari jawaban yang tepat yang bisa memuaskan bagiku selama ini.

Kejadian-kejadian ini terjadi secara tiba-tiba dan diluar dugaanku. Semuanya terjadi seperti sudah diatur secara rapi. Tapi aku sendiri tidak tahu siapa yang telah mengaturnya dan siapa yang telah begitu kejam.

Pada sabtu malam disaat bulan purnama, kami sekeluarga dan beberapa teman dekat sedang bersenang-senang menikmati pesta kecil di rumah. Pesta yang kami jalani pun terpaksa harus diakhiri dengan peristiwa berdarah. Disaat itu tiba-tiba terdengar bunyi sirene mobil polisi semakin kencang menuju tempat kami dan berhenti persisnya di depan jalan rumah sebelah.

Konon katanya mobil patroli yang beranggotakan kurang lebih sepuluh orang berseragam beserta senjata di pinggang sedang beroperasi menangkap para penjudi dan Bandar narkoba yang sedang melakukan aktivitasnya di rumah seberang. Memang kota saya lahir itu terkenal dengan judinya walaupun sekarang sudah tidak seperti yang dulu lagi.

Saat itu seorang dari kelompok itu tiba-tiba lari menuju dalam rumah kami, dan saudaraku yang kecil pun hendak keluar melihat apa yang sedang terjadi. Malang tak dapat dihindar itulah yang cocok untuk saudaraku itu. Saat berjalan keluar rumah dia ditabrak oleh seorang aparat yang sedang melakukan pengejaran.

Aku melihat dengan mata sendiri dan mendengar betapa kencangnya teriakan rasa sakit dari gadis yang kecil itu terbaring di atas lantai. Akupun dengan cepat berlari menghampiri tapi aku tak bisa berbuat banyak karena melihat darah yang keluar dari belakang kepalanya begitu deras dan kental membuatku semakin pusing. Karena aku sendiri memang tak kuat melihat darah secara langsung.

“ Tolong, tolong, tolong panggil ambulance!” Itulah teriakan dari saudaraku yang lain yang masih membekas dipikiranku sampai saat ini. Dan dengan cepat salah satu temanku meyalakan mobilnya untuk membawa si Jessie, panggilan untuk saudaraku itu, ke rumah sakit tanpa menunggu ambulance datang. Karena pelayanan ambulance di kota kami memang sangat kurang baik.

Sesampai di rumah sakit Jessie segera dilarikan ke ruang darurat, dan saat itu hanya ditangani oleh dokter umum saja karena dokter spesialis saat itu sedang tugas keluar kota. selama hampir dua jam sang dokter dan suster baru keluar dari ruangan itu. Hasilnya mereka telah berusaha keras dan hanya bisa menghentikan pendarahan untuk sementara waktu.

Setelah berunding dengan dokter dan pihak rumah sakit kami pun disarankan agar segera membawa Monig ke rumah sakit negeri tetangga karena disana baru ada dokter yang mampu menangani kecelakaan seperti ini. Tanpa pikir panjang kami segera mengurus semua dokumen dan menerbangkan si Jessie besok paginya.

Masalah semakin sempurna setelah mendapat kabar bahwa saudara laki-laki ku yang tertua dibawa ke kantor polisi dan menjadi tahanan. Menurut informasi dari seorang teman, pada malam kejadian itu Saudaraku secara spontan mengejar sang aparat yang menabrak si Jessie untuk meminta pertanggung jawaban. Namun dia malah ditangkap dengan tuduhan menghalangi tugas polisi dalam pengejaran dan diduga terlibat dalam komplotan pengedar narkoba tersebut karena sengaja membiarkan mereka lolos dari kejaran polisi.

Kami sekeluarga serasa sudah jatuh tertimpa tangga. Belum sempat untuk mengadu si polisi ke pengadilan tetapi kami sudah disalahkan terlebih dahulu. Mungkin ini memang kenyataannya bahwa tugas aparat di Negeri tercinta kita hanya bisa membalikkan fakta. Kasus-kasus seperti ini sudah banyak sekali terjadi dari dulu sampai sekarang bahkan semakin aja dikembangbiakkan dengan baik oleh mereka yang berkuasa.

Kembali ke masalah Jessie, setelah menjalani perawatan intensif selama sebulan di rumah sakit ternama di negeri tetangga, akhirnya dia bisa melewati masa kritis dan sadar kembali untuk menikmati indahnya matahari terbenam dan segarnya udara pagi. Walaupun begitu dia masih belum bisa diperbolehkan pulang, karena menurut hasil pemeriksaan masih harus dilakukan operasi untuk selanjutnya pada bagian otak yang masih terjadi bekuan darah.

Mendengar hal itu kami semakin stress mengingat besarnya biaya yang diperlukan, disamping itu telah mengeluarkan jumlah biaya yang tidak kurang untuk menyewa pengacara dalam penyelesaian kasus saudara tertuaku.

Seminggu setelah operasi akhirnya Jessie diperbolehkan pulang dan diwajibkan untuk melakukan pemeriksaan sebulan sekali. Semuanya telah selesai begitupun juga dengan harta yang kami miliki, dan bahkan biayaku untuk melanjutkan sekolah di Negeri lain juga telah semuanya dipakai. Sehingga membuatku tak bisa lagi untuk melanjutkan ke University dan sekarang harus bekerja membanting tulang untuk memenuhi biaya sekolah foundation ku serta biaya hidup sehari-hari. Tapi aku dan keluarga tidak pernah putus asa karena kami tahu bahwa nasib ada ditangan sendiri dan kitalah yang akan menentukannya.

Di sini aku hanya ingin para pembaca agar jangan pernah berurusan dengan penguasa di negeri kita, karena yang lemah selalu akan ditindas. Dan jangan pasrah untuk berjuang walaupun harus memulai dari Nol.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline