Lihat ke Halaman Asli

Kultum Diantara Dentuman DJ

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lafaz Al-quran diantara Gemerlap Dunia Malam

Menghitung Hari, itulah judul tembang yang pernah dipopulerkan oleh salah satu diva Indonesia, Krisdayanti. Judul tersebut juga tepat menggambarkan bagaimana umat muslim di seluruh dunia yang akan menyambut datangnya bulan penuh berkah, bulan Ramadhan. Secara leksikal Ramadhan berarti panas yang menyengat atau kekeringan khususnya pada tanah (Wikipedia.org). Di bulan inilah seluruh umat muslim di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia memanfaatkan momen tersebut untuk memperbanyak amal ibadah dan berusaha memperbaiki kualitas iman terhadap sang Khalik.

Di bulan yang berkah tersebut, segala sesuatu yang bersifat kesenangan duniawi dan mampu mengurangi amal ibadah umat muslim sedapat mungkin dikurangi atau bahkan dihilangkan sama sekali agar meraih kesempurnaan yang hakiki dalam beribadah. Namun sebagai manusia yang hidup di tengah gagap gempita era globalisasi, komunikasi, teknologi, dan masifikasi budaya yang masuk ke Indonesia, terutama di kota-kota besar, tentu saja membawa implikasi terhadap perkembangan perilaku masyarakat dan budaya sebagai konsekuensi logis adanya proses modernisasi yang menyentuh segala aspek-aspek sosial, politk, ekonomi, dan budaya. Menurut, J.W. Schoorl, dalam Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara sedang Berkembang, modernisasi berasal dari Barat, dan dalam modernisasi tersebut juga terselubung unsur westernisasi atau pembaratan.

Salah satu dari unsur tersebut adalah gaya hidup ala Barat yang diadopsi oleh masyarakat, salah satu yang digandrungi kalangan pemuda-pemudi di kota-kota metropolitan adalah hiburan malam yang bekent dengan terminologi “dugem” atau dunia gemerlap sebagaimana tergambar dalam lirik tembang yang dinyanyikan biduan asal Amerika, Kesha dengan “Tic-Tac”-nya. Gaya hidup tersebut bagi mayoritas masyarakat dipandang sebagai gaya hidup hedonistis yang identik dengan kesenangan duniawi, dimana terdapat elemen-elemen seperti narkotika, minuman keras (miras), dan seks bebas (free sex). Pandangan tersebut dinilai terlalu naif dan konservatif bagi beberapa kalangan karena clubbing tidak selalu berpretensi negatif. Dari tempat tersebut tidak sedikit pula yang menjadikan clubbing sebagai ajang kreativitas para dj (disc jockey) untuk berkreasi diatas turn table-nya atau bagi kalangan muda-mudi menjadikan tempat tersebut sebagai rendezvous (tempat bertemu) sebagai ajang bersosialisasi dan memperluas pergaulan, dan bahkan bagi kalangan tertentu dimanfaatkan untuk urusan bisnis. Maka tidak mengherankan apabila bisnis hiburan malam tidak pernah sepi pengujung dan menjadi bisnis yang menjanjikan dengan omzet belasan bahkan puluhan juta dalam waktu semalam.

Besarnya laba yang diperoleh dari bisnis hiburan malam tentu saja akan menjadi alasan yang sangat “mubazir” apabila tidak dapat dioptimalkan oleh para club owners. Namun demikian, mengutip dari Furnivall, bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural dimana umat Muslim merupakan mayoritas di Indonesia dan bahkan dunia. Sebagai apresiasi dan sikap tenggang rasa diantara sesama manusia dalam menyambut bulan suci Ramadhan, maka seyogyanya bagi para pemilik atau pengelola tempat hiburan malam menghormati umat muslim yang tengah beribadah dengan cara mengurangi jam operasional atau untuk sementara waktu menutup tempat hiburan malam selama bulan Ramadhan. Tentu saja himbauan tersebut hanya akan terasa manis di bibir dan powerless apabila tidak didukung dengan adanya surat edaran resmi dari pemerintah kota setempat. Benar adanya bahwa tempat hiburan malam tidak selalu diasosiasikan sebagai suatu entitas publik yang negatif namun dalam konteks suasana Ramadhan, aplikasi pengurangan jam operasional atau bahkan penutupan sementara waktu tempat-tempat tersebut tanpa disadari juga akan membawa dampak positif. Pertama, sebagai wujud toleransi antarumatberagama dalam konteks keagamaan, kedua, secara tidak langsung tempat hiburan malam akan memberikan pesan dan tanggungjawab moral bahwa ada kalanya para party goers “diingatkan” untuk meningkatkan kualitas religiusitas, ketiga, menghindari probabilitas yang berpretensi menimbulkan aksi gerakan sosial secara sepihak oleh golongan – golongan yang mengatasnamakan agama tertentu. Tentu saja kita semua tidak ingin hal-hal tersebut terjadi karena hanya akan merugikan banyak orang dan dirasa tidak pantas dilakukan oleh masyarakat yang (merasa) memiliki akal, budi, dan pikiran.

Sejatinya para stake holder (pemangku kepentingan) tempat hiburan malam bersikap bijaksana dan sedikit meminggirkan egonya untuk meraup keuntungan dari pengelolaan bisnis tersebut, yah minimal untuk satu bulan diantara dua belas bulan yang tersedia. Tentu akan ironis rasanya apabila para muda-mudi lebih memilih menghabiskan waktu malamnya di dalam ruangan yang penuh dengan gemerlap kerlap-kerlip lampu disko dan ditemani oleh sebotol Jack D dibanding dengan duduk merenung mendengarkan pengajian sembari membasahi mulut dengan bacaan salawat dan salam terhadap sang pencipta. Mungkin tagline “Hari gini dugem? Apa kata dunia?” cocok untuk menyentil telinga para muda-mudi agar bersikap lebih bijaksana dalam menyikapi datangnya bulan suci Ramadhan. Toh tidak ada salahnya sesekali telinga ini dimanjakan dan diselingi dengan lafaz Al-qur’an diantara deretan racikan musik dari sang DJ.

Yudi Prasetyo

Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah

Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline