Kasus penusukan terhadap Wiranto tadi siang begitu menggegerkan negeri ini. Banyak orang kaget dan separuh tidak percaya.
Untuk mendapatkan informasi yang akurat, biasanya mereka mencari berita dari media mainstream. Media mainstream sejak dulu memegang peranan yang sangat penting. Baik itu media elektronik maupun media cetak.
Begitu saktinya, sebuah media mainstream papan atas dengan mudah menciptakan bintang sesuai dengan keinginan mereka: apakah mau menciptakan artis atau politisi?
Caranya pun sederhana, cukup dengan memberi exposure yang terus-menerus dengan segala puja-puji, lalu, TARAAAA.... Seorang public figure terlahir. Begitulah power sebuah media.
Akan tetapi seiring dengan munculnya media sosial, perkembangan media berubah total. Awalnya, media mainstream masih menjadi patokan tentang kebenaran sebuah berita.
Setiap mendengar berita heboh dari sebuah media abal-abal, orang akan ngecek di media mainstream. Mereka meyakini bahwa sebuah berita heboh patut diragukan kebenarannya jika media mainstream tidak meliput berita tersebut.
Sayangnya perubahan tak bisa dibendung. Media digital adalah media interaktif yang luar biasa. Sekarang ini orang tidak mau lagi cuma jadi sekedar pembaca atau penonton doang. Mereka ingin menjadi partisipan. Dan teknologi digital memungkinkan semua itu.
Sekarang ini, semua orang punya media sendiri. Mereka punya TV sendiri (Youtube), mereka punya koran dan majalah sendiri (Blog) dan mereka mempunyai radio sendiri (Podcast).
Lalu apa yang terjadi? Mulailah kenyamanan media mainstream terganggu. Apalagi ketika muncul yang namanya buzzer.
Dalam konteks media sosial, buzzer tugasnya merebut perhatian netizen lalu menggiring opini publik untuk menilai sebuah berita. Buzzer ini seringkali tidak bekerja sendiri. Mereka berkolaborasi sehingga membentuk cyber army yang anggotanya cukup banyak.
Dalam dunia politik tentu saja buzzer memiliki peranan penting. Kelompok penguasa dan kelompok oposisi melihat keberadaan buzzer sangat ampuh untuk menggalang opini.