Lihat ke Halaman Asli

Yoyo

Lorem ipsum dan lain-lain seperti seharusnya

Saya Tidak Percaya Lagi pada Media Mainstream

Diperbarui: 3 Oktober 2018   13:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pic: Captured from Tompi's Twitter Account

Berita tentang penganiayaan Ratna Sarumpaet tiba-tiba menyeruak. Seluruh timeline Social media saya tiba-tiba dipenuhi oleh berita tersebut. Saya seperti biasa tidak begitu mempedulikan sebuah berita yang datang dari meda yang tidak jelas.

Setelah membaca sekilas lalu saya lupakan dan kembali sibuk dengan rutinitas sehari-hari. Saya akan menganggap berita itu sebagai fakta ketika media mainstream telah menuliskannya. Dari dulu begitulah cara saya untuk menyaring kebenaran sebuah berita.

Namun netizen ternyata semakin heboh. Kicauan Thomson and Thompson, alias Fahri dan Fadli semakin membuat heboh. Belum lagi konperensi Pers yang diadakan oleh Capres Prabowo lalu apa yang terjadi? Media-media mainstream akhirnya memberitakan kasus ini.

Kembali jagat maya terkoyak-koyak. Saling maki dan saling menyalahkan kembali terjadi. Perang hoax dan meme ikut meramaikan suasana. Ujung-ujungnya tentu saja pemerintah yang dituduh sebagai dalang penganiayaan Ratna Sarumpaet. Ujung-ujungnya tentu saja target utamanya adalah Jokowi, Sang Petahana.

Sebetulnya apa yang terjadi? Sampai detik ini belum ada penjelasan dari Ratna Sarumpaet walaupun polda Metro Jaya telah memastikan bahwa saat penganiayaan itu, Ratna tidak berada di Bandung tapi di Jakarta sedang melakukan operasi plastik di sebuah RS di bilangan Menteng.

Saya menduga tidak akan ada statement apapun dari yang bersangkutan. Kasus ini hanya akan menguap begitu saja dan yang tinggal adalah benih kebencian netizen dari dua kubu semakin tumbuh subur.

Analisa saya begini. Bencana alam yang terjadi di Palu dan Donggala telah membuat fokus para netizen beralih ke sana. Gempa bumi dahsyat dengan Tsunami dan lumpur telah menyentuh sisi kemanusiaan penduduk negeri sehingga semua orang tanpa kecuali berlomba-lomba untuk membantu korban bencana.

Kubu Prabowo semakin resah karena mereka berpendapat bahwa setiap bencana alam selalu menguntungkan capres petahana. Bencana alam adalah kreasi Tuhan, jadi tidak mungkin menuduh pihak pemerintah telah sengaja menciptakan gempa bumi sebagai pengalihan issue.

Buat Kubu Prabowo, setiap kunjungan petahana ke lokasi bencana adalah pencitraan. Semua bantuan dari Jokowi adalah bentuk kampanye. Suka tidak suka, memang itu ada benarnya. Dan suka tidak suka, itu memang keuntungan yang diperoleh petahana di dunia manapun saat pilpres. 

Sebaliknya, partai oposisi juga mempunyai priviledge. Mereka dapat menyerang lawannya yang sedang berkuasa secara agresif. Strategi psywar adalah taktik yang paling umum digunakan untuk memancing lawannya. Sementara petahana terkondisikan untuk diam. Sekali saja mereka terpancing atau kebanyakan ngomong, terbukalah peluang bagi lawan untuk berdemo dan menjatuhkannya. Hal itulah yang terjadi pada Ahok saat menjabat sebagai gubernur Jakarta. 

Itu sebabnya, duo Thomson and Thompson dibantu oleh Ratna Sarumpaet dan berbagai tokoh lainnya sangat vokal menyerang petahana. Segala cara diupayakan untuk menghalangi dan menyerang petahana dengan berbagai cara. Misalnya dengan membuat pernyataan supaya Jokowi tidak menggunakan fasilitas kepresidenan untuk pergi ke Palu. Alasannya, saat itu, Jokowi statusnya sama seperti Prabowo yaitu sebagai capres. Bukan sebagai presiden.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline