Saya sedih sekali melihat 41 orang anggota DPRD Malang yang tertangkap KPK. Yang membuat hati saya miris, di depan kamera, mereka semua melemparkan senyum, mengacungkan jempol dan melambaikan tangan ke arah rombongan wartawan yang meliput. Seakan-akan mereka adalah serombongan atlet rafting yang hendak berlomba dengan pelampung orangenya. Sikap mereka sangat menyakitkan. Buat saya mereka adalah orang-orang sakit tak bermartabat.
Saya marah melihat mantan Napi Koruptor yang kembali mencalonkan diri sebagai caleg. Mereka yang jelas-jelas sudah merampok uang rakyat masih saja merasa pantas untuk duduk kembali menjadi wakil rakyat. Mereka berharap rakyat memilihnya menjadi anggota dewan yang terhormat.
Di acara Matanajwa yang bertopik 'Jangan pilih napi koruptor menjadi wakil rakyat' mereka tanpa sungkan tampil di layar kaca. Sementara sepanjang acara, Najwa Shihab dengan lidahnya yang tajam, terus menerus "membully" mereka dengan kata-kata yang nyelekit, seperti, 'Napi, Koruptor, garong dan penghianat. Bahkan Matanajwa mengusulkan supaya lembar pemilihan ditandai dengan jeruji pada foto mereka, lengkap dengan contoh gambarnya. Penonton berkali-kali tertawa terbahak-bahak dan bertepuk tangan melihat "penghinaan' itu.
Yang saya tak habis mengerti, para mantan napi koruptor itu masih saja membela diri. Dengan wajah tak bersalah. mereka terus berkilah bahwa mereka cuma korban. Bahkan Wa Ode Nurhayati, salah seorang napi mantan koruptor mengatakan, "Lebih baik memilih mantan koruptor daripada calon koruptor". Keterlaluan sekali. Secara tidak langsung, dia ingin mengatakan bahwa semua anggota dewan pasti akhirnya berujung menjadi koruptor seperti dia. Kemana rasa malu mereka?
Saya geram mengetahui ada partai-partai yang mengusung para mantan napi koruptor sebagai calegnya. Padahal merekalah benteng terakhir untuk membendung syahwat kekuasaan para napi koruptor tersebut. Entah apa yang terjadi namun pilihan tersebut membuat kita bertanya-tanya, 'Apakah dari jutaan kader partai tak ada satupun yang lebih baik dari para napi koruptor tersebut?'
Di malam hari, saya kadang menangis mengingat peristiwa itu. Tidakkah orangtua mereka mengajarkan tentang harkat, tentang harga diri, tentang rasa malu, tentang martabat? Saya yakin 'iya'. Mana ada orangtua yang tidak mengajarkan akhlak pada putera-puterinya. Lalu apakah mereka tidak merasa bahwa perbuatannya telah membuat malu keluarga. Tidakkah para napi koruptor itu merasa jika mereka telah menyakiti hati ibu yang telah melahirkannya? Sebagai politisi, keteladanan apa yang mereka pertontonkan pada generasi berikutnya.
Kalau saya menjadi ibu napi koruptor, saya akan bersujud setiap malam pada Tuhan karena telah gagal dalam mendidik anak. Saya pastinya tidak akan sanggup menghadap Tuhan dengan kelakuan anak seperti itu. Seandainya saya sudah meninggal dunia, saya pasti akan bangkit dari kubur untuk memperingatkan anak saya untuk segera insyaf dan memohon ampun pada Tuhan. Percayalah, saya akan lakukan itu semua karena saya tidak punya muka untuk menghadap Tuhan di akhirat nanti.
Saya adalah seorang ibu, single parent dengan satu anak perempuan. Saya takut sekali jika anak saya akan berperilaku sebagai garong yang suka merampas hak orang lain. Saya berjanji pada Tuhan, yang telah menitipkan seorang anak pada saya, untuk membesarkannya dengan baik. Bagaimana cara melakukan semua itu?
Saya akan memulainya dengan cara bersyukur. Jika kita senantiasa mensyukuri apa yang kita punya dan tidak pernah menyesali apa yang belum kita miliki, maka kita tentu tidak akan pernah mengeluh. Pasti Tuhan berpendapat bahwa memang cuma segitulah yang berhak kita miliki. Kita harus introspeksi diri sendiri; perbuatan baik apa yang telah kita lakukan sehingga kita merasa berhak mendapatkan lebih dari yang seharusnya.
Implementasinya bisa kita mulai dari hal-hal yang kita hadapi sehari-hari. Misalnya kita menemukan bahwa kebutuhan bahan pokok harganya semakin membubung. Saya tidak akan membiarkan para politisi menggunakan situasi ini dengan memanfaatkan para ibu untuk menyerang pemerintah. Sekarang ini, saya melihat para politisi memancing para emak-emak untuk mengeluhkan peristiwa tersebut lalu mengatakan bahwa itu adalah kegagalan pemerintah dalam mengelola perekonomian negara.
Saya menghimbau pada ibu-ibu di seluruh negeri. Jangan mau dipolitisasi. Suka atau tidak, Jokowi adalah pemimpin kita. Kalau dia belum memenuhi semua janjinya, mari kita doakan supaya akhirnya dia berhasil memajukan negeri ini. Kalau dia mengalami kesulitan, mari kita bantu dia; misalnya seperti yang dilakukan oleh pengusaha Jawa Timur yang ramai-ramai menukarkan dollarnya. Tujuannya tentu saja untuk membantu pemerintah memperkuat nilai rupiah terhadap dollar. Begitulah seharusnya kehidupan bernegara. Kita adalah teamwork dalam menghadapi kompetisi dengan negara-negara lainnya.