Bagi yang akrab dengan dunia Pramuka, sepertinya tidak asing dengan lagu ini:
"Apa guna keluh kesah, apa guna keluh kesah...
Pramuka tak kenal bersusah...
Apa guna keluh kesah"
Lirik lagu Pramuka ini sepertinya hendak mengungkap bahwa keluh kesah bukan menjadi ciri seorang Praja Muda Karana. Mungkin saja mereka tidak mengenal keluh kesah itu, atau mungkin mencoba mengacuhkan perasaan itu. Sepertinya, keluh kesah dianggap sebagai penghambat untuk kelompok sosial ini melangkah maju dan mengembangkan dirinya ke depan. Namun apa iya begitu?
Kawan, nyatanya, ujaran untuk tidak berkeluh kesah juga kerap digaungkan di lingkungan sosial kita, manakala ada orang yang mengeluh atas peristiwa yang dialami dan diraskannya maka tidak sedikit orang yang langsung menyaut: "Wis ojo sambat.- sudah jangan mengeluh", "Buat apa mengeluh!" "Sudah diterima saja", dsb.
Bukankan ungkapan ini sangat umum kita dengar? Namun bagi saya pribadi nampaknya sangat prematur dan dini untuk langsung berucap: "jangan!" terhadap mereka yang berbeban berat tanpa mau menyediakan sedikit waktu untuk mencoba memahami apa yang melandasi keluhannya itu.
Memangnya sambat tidak boleh?
Bukankah dengan bersambat kita menunjukkan identitas kemanusiaan ini? Sisi manusia yang bisa lelah fisik dan mentalnya?
Sambat menjadi ungkapan semua golongan manusia: muda-tua, berpendidikan maupun tidak, di kota maupun di desa, berjabatan tinggi maupun mereka yang hidup menggantungkan diri kepada orang lain. Semua bisa sambat dan semua pasti pernah mengalaminya.
Akan tetapi, tidak jarang sambat yang sebatas keluhan itu biasanya akan bermuara pada perasaan jengkel, kecewa, putus asa dan bisa membuat manusia menjadi antipati terhadap situasi yang seharusnya ia perjuangkan.