Pengantar
Kang Juhi, pedagang gorengan keliling. Tinggal seorang diri, di sebuah kamar kontrakan, di pinggiran ibukota. Namun ia bisa berada di mana saja, dan bertemu dengan siapa saja. Karena ia hanya semacam simbol yang mewakili suatu kelompok masyarakat marjinal, yang alam bawah sadarnya terkadang mengejawantah ke berbagai dimensi kehidupan. Kang Juhi mengamati lalu batinnya mengkritisi berbagai aspek kehidupan yang sering kali menyimpang menurut penalaran akal sehat Kang Juhi. Apakah penalaran batinnya bisa dipertanggungjawabkan? Perlu diskusi lebih lanjut. Karena ia hanya penjual gorengan, yang tak menarik perhatian. Dibutuhkan tatkala tak ada pilihan.
Namanya juga dongeng.
*
Kang Juhi Bermonolog
Antara Harapan dan Realitas
Yoss Prabu
(Lampu redup di kamar kontrakan, Kang Juhi duduk bersila di lantai dengan secangkir teh manis yang masih mengepul. Di hadapannya, baskom penuh noda minyak terlihat seperti penonton setia).
Kang Juhi:
"Hari ini habis lagi, ya. Kaya gorengan yang ludes sebelum malam datang. Cepat benar waktu berlalu, tapi rasa capeknya selalu tinggal lebih lama.
Harapan? Harapan itu mirip adonan gorengan, Baskom. Kita campur ini-itu, kasih bumbu, terus kita bentuk sebaik-baiknya. Tapi begitu masuk minyak panas? Mana bisa kita atur bakal matang sempurna atau gosong di pinggirannya. Kadang, malah yang niatnya bikin tahu isi, jadinya cuma tahu kosong. Tapi anehnya, aku tidak pernah berhenti bikin adonan itu. Harapan itu ngotot, ya?