Lihat ke Halaman Asli

Ketika Dia Pergi (Part I)

Diperbarui: 16 April 2023   13:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Ilustrasi : Pixabay

            Sampai menjelang dini hari, mata Yu Partinah belum bisa terpejam. Langit-langit kamar, jam dinding tua yang tertempel di dinding kamar, selembar mukena yang tergantung di kapstok, dan semua sudut kamar telah ia pandangi satu-persatu. Dengan tatapan kosong. Pikirannya serasa berada di alam antah berantah. Melayang-layang, terkadang beberapa kejadian masa lalu  muncul dan menari-nari di pikirannya. Lalu sekejap, berbalik bayangan ketakutan tentang masa depan bersama Ardan, putranya. Ia belum tahu bagaimana membiayai pendidikan Ardan nantinya.

            "Allah Maha Besar Mbakyu, Ia tak akan membiarkan hambaNya bersedih, pasrahkan semua, Allah Maha Pengatur, yakin Mbak," kata Maryam suatu hari saat Yu Partinah menangis usai mengajar.  Maryam mengambil sebuah petikan ayat yang diambil dari Al-Qur'an pada surat At-Taubah ayat 40.

            "La tahzan innallaha ma'ana.  Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita, " kata Maryam bijak.

            Tik, tik, tik, suara detik jam di dinding  terasa begitu kencang di telinganya, bagaikan suara dentuman palu godam yang dihantamkan pada sebuah tiang listrik. Suara itu seolah mengejar Yu Partinah untuk segera bergerak, bangkit dan berlari sekuat tenaga. Tapi kakinya serasa lumpuh. Tak ada daya di raganya. Yu Partinah berusaha menutup telinganya dengan bantal kapuk yang entah sudah berusia berapa tahun. Yang ia ingat bantal itu sudah bersamanya sejak ia sekolah di sekolah menengah pertama. 

          "Astaghfirullahal adzim ... ," Yu Partinah lalu berusaha turun dari ranjangnya. Ia memilih untuk melanjutkan rajutan dompet mungil pesanan Mbak Karti, dari pada kepalanya pusing karena susah memejamkan mata.

            Rumah ini, adalah rumah masa kecilnya yang masih ia tempati hingga kini bersama putranya, Ardan. Yu Marinah, kakaknya, tinggal di kota mengikuti suaminya yang bekerja sebagai buruh, di sebuah pabrik pengolahan kayu. Ayah sudah meninggal sekitar empat atau lima tahun lalu, sedangkan Simboknya menyusul 2 tahun sepeninggal ayahnya, juga karena sakit. Tak jarang, Maryam harus mengajar sendirian, karena Yu Partinah harus mengantar Simboknya pergi ke Puskesmas desa waktu itu.

            Setahun sudah, sejak Kang Badrun meninggal, ia masih sering mengalami hal ini. Insomnia akut! Kadang ia harus pergi mengajar dalam keadaan migren karena tak bisa tidur semalaman. Merajut, adalah salah satu kegiatannya untuk menghabiskan malam-malam panjangnya. Hasilnya, lumayan. Beberapa hasil karyanya banyak diminati mahasiswa-mahasiswi yang sering mengadakan KKN di desanya.

            Tempo hari, usai mengajar, Yu Partinah mengeluhkan tentang kondisi yang ia alami kepada rekan kerjanya, Maryam. Kepadanyalah Yu Partinah sering membicarakan tentang berbagai masalah yang dihadapinya.

            "Ikhlas Mbakyu, ikhlaskan ... Kang Badrun sudah tenang di sisi Allah,"  kata Maryam, teman seperjuangan tempat ia mengajar di Paud Al Hikmah. "Mbakyu sekarang harus kuat, demi Ardan, putra Mbakyu satu-satunya, Mbak," lanjut Maryam sambil mengelus-elus pundak Yu Partinah.    

            Ardan, anak satu-satunya Yu Partinah sudah duduk di kelas 6 SD. Semakin besar, ia makin mirip seperti sosok ayahnya yang sudah meninggal setahun lalu. Suaranya sudah mulai berubah, kumis tipis mulai tumbuh di atas bibir mungilnya. Ikal rambutnya dan bau khas tubuhnya, semua persis seperti almarhum ayahnya. Sejak ayahnya meninggal, Ardan jadi banyak berubah, ia cenderung menjadi anak pemurung dan suka berdiam di kamar. Mungkin jiwanya masih terpukul akan kehilangan sosok ayah yang dulu selalu mengayominya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline