Malam, selesai shalat tarawih, Maryam buru-buru menyiapkan payungnya, tak menunggu hujan reda, ia bersiap keluar dari masjid.
"Dik May, mau nekat pulang? Hujannya masih deras hlo ... Tunggulah barang 5 atau 1o menit lagi barangkali hujan sudah agak reda," kata Yu Partinah sahabat sekaligus rekan kerjanya mengingatkan.
"Zahra kemarin badannya anget Mbakyu, aku khawatir sekarang dia masih rewel," ujar Maryam dengan wajah cemas. Zahra adalah putri Maryam yang masih berusia sekitar 10 bulan.
"Ya sudah, aku tak meneruskan nderes sama teman-teman dulu di sini ya, barangkali sebentar lagi hujan reda," ucap Yu Partinah sambil menepuk bahu Maryam. "Ati-ati, jalannya becek," lanjutnya.
"Ya Yu, Assalamu'alaikum," kata Maryam berpamitan.
Sebagian anak-anak nekat lari di tengah hujan sambil memainkan sarung dan asyik bersenda gurau. Bagi mereka, anak-anak desa, hujan berarti bermain.
Maryam sedikit mengangkat mukenanya dengan tangan kirinya sambil mendekap sajadah. Tangan kanan memegang sebuah payung tua. Dipegangnya payung itu agar tak terbang karena hembusan angin yang cukup kencang.
Sebagian badannya basah kuyup. Payung kecilnya tak kuasa menahan terpaan air hujan malam itu. Mukena putihnya kotor terkena cipratan air. Sandal jepitnyapun tak terselamatkan, putus karena Maryam sempat terjebak dalam genangan air berlumpur. Sengaja ia lepaskan sandalnya dan berjalan tanpa alas kaki.
Jalanan dari rumahnya menuju ke masjid At Taqwa di desa Pakis memang masih berupa tanah dan bebatuan yang ditata seadanya.
Seorang perempuan sepuh membukakannya pintu.