Lihat ke Halaman Asli

Cerpen: Akhir Sebuah Pilihan

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

HARI telah larut. Detak jam terasa kuat ditengah keheningan malam, saat kucoba memejamkan mata dan membiarkan helaan nafasku terasa begitu berat. Aku melenguh. Ukh...sudah pukul 02.45 pagi. Mataku tak jua bisa terpejam. Suara jangkrik di ujung pagar terasa bagai musik malam, yang menambah kegelisahanku. Kubiarkan si kecil mendekapkan kakinya di ujung selimut.

"Ya Tuhan....mengapa perasaan ini datang ?" lenguh hatiku. Namun lenguh itu terasa lepas dari bibir, refleks lengan kiriku menutup bibir seolah khawatir suamiku mendengarnya.

Kupandangi Supandi, pria yang telah 10 tahun mengisi hidupku. Nafasnya memburu, seolah tengah bertarung melawan letih setelah seharian bekerja. Betapa manisnya dia, meski tengah tertidur. Aku teringat saat pertama kali ibu mengenalkannya padaku. Usiaku baru 21 tahun, saat ibu berkata bahwa aku harus menikah.

"Yani, ini Pandi, anak Wak Tresno. Wak Tresno, anaknya Kek Jamal, yang rumahnya di simpang Pelangi," kata ibu kepadaku. Aku tersenyum. Sekilas keperempuananku muncul. Supandi terlihat sangat manis. Tingginya 170 centimeter, terlihat kurus dengan kemeja warna gelap. Kumis tipis terlihat mengitari atas bibirnya. Cowok idaman, bisik hatiku.

Sejak pertemuan itu, aku selalu berusaha untuk bisa bertemu Supandi. Dari alasan belajar Fisika, hingga minta diantarin belanja. Supandi pun akhirnya menyukaiku, meski secara fisik, kami sungguh tak harmonis. Tinggiku hanya 145 centimeter, tubuhku montok dan kulitku juga tak sebersih kulitnya. Tapi Supandi akhirnya memintaku untuk menjadi istrinya. Tanpa banyak pertimbangan, kami menikah setahun kemudian. Usiaku 22 tahun dan Supandi 32 tahun. Kata ibu, itu usia yang pas. Apalagi Supandi sudah bekerja sebagai tenaga honorer di Pemko Medan.

Rasanya hidupku sempurna. Punya suami ganteng dan kami saling mencinta. Apalagi, aku akhirnya diterima bekerja sebagai tenaga administrasi di salah satu perusahaan. Tiga tahun bersama, Supandi akhirnya diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil, sementara karirku terus naik dan mendapat jabatan sebagai Sekretaris. Tahun ketiga perkawinan, rasanya seluruh bintang berada tepat di atas rumah kami. Aku hamil, dan di tahun keempat, anak buah cinta kami lahir. Hidup terasa luar biasa, karena segalanya begitu sempurna.

Tahun kelima, Supandi mulai mengeluhkan pekerjaanku. Sebagai Sekretaris, waktuku habis untuk urusan kantor, sehingga kadang aku kehabisan waktu untuk mengurus Aldi, putra pertama kami. Aku mengacuhkan keluhan itu, karena jika aku merajuk, biasanya Supandi tak lagi mengungkitnya hingga beberapa hari.

Tahun ketujuh, aku kembali hamil. Meski ini anak kedua, tapi rasanya aku tak begitu suka. Entah karena bawaanku, atau entah karena terasa menganggu karirku, hamil kali ini tak begitu membahagiakan. Tapi Supandi sangat senang. Setiap malam, dia tak pernah lupa mengelus perutku yang kian hari kian membuncit. Supandi berharap anak kedua ini adalah perempuan agar menambah semarak keluarga kami. Tapi, meski yang lahir ternyata juga berjenis kelamin laki-laki, Supandi tak menunjukkan kekecewaan. Akupun terpaksa mengambil cuti panjang untuk proses kelahiran ini.

Dan, sekarang, si bungsu sudah berusia 1 tahun 6 bulan. Lucu dan menggemaskan. Meski jari kakinya sebelah kanan ada enam, tapi si bungsu ini memang jauh lebih pintar dari abangnya pada saat seusianya. Di usia 8 bulan, si bungsu yang akhirnya kami panggil Dedek sudah bisa bicara lebih lancar dibandingkan anak-anak seusianya. Waktukupun habis terpusat padanya. Perhatianku pada Supandi pun jauh berkurang. Kadang, makan malamnya pun enggan kusiapkan karena tubuhku letih harus bekerja di kantor dan mengurusi Dedek sepulang dari kantor. Hari-hari demi hari, hingga akhirnya akupun terperangkap dalam perasaan asing karena merasa tak diperhatikan dan tak ingin memperhatikan.

"Huh!!! " Detak jam semakin kuat menambah kegelisahanku. Malam ini aku sudah bertekad meninggalkan Supandi. Entah kenapa, cinta yang kumiliki kepadanya dan dulu begitu menggebu-gebu kini tak berharga lagi. Aku merasa Supandi kini bukanlah pria yang tepat untuk mendampingiku. Sebagai PNS, gaji yang diterima Supandi hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kami seminggu. Sisanya, akulah yang memberikan penghasilan terbesar dalam keluarga. Kadang, aku benci melihat cara Supandi memandang hidup. Tak perlu neko-neko, dan tidak berusaha keras untuk mendapatkan uang tambahan. Aku juga sering kesal, jika Supandi menasehatiku agar memberikan waktu cukup untuk keluarga. Rasanya, sepanjang perkawinan kami, waktuku habis untuk meniti karir yang semuanya untuk kepentingan keluarga.

"Hah...." Aku menghela nafas saat mengingat bagaimana Supandi menasehatiku agar tidak terburu-buru dalam mengambil putusan investasi. Rasanya dadaku mau pecah, karena nyatanya dalam perkawinan kami, akulah yang selalu berusaha keras memecahkan berbagai masalah keuangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline