Lihat ke Halaman Asli

Yosi Wulandari

Pengajar, penulis, peneliti, pengabdi, dan pembelajar

Falsafah Alam dalam Rumah Bagonjong

Diperbarui: 17 Juli 2021   11:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Minangkabau merupakan salah satu suku yang memiliki keunikan pada sistem kekerabatan yang dianut kaumnya, yaitu matrilineal. Kekuatan sistem kekerabatan matrilineal tersebut juga termuat pada daya tarik bangunan rumah adatnya. Kekuatan filosofi alam pun melandasi bangunan rumah adat Minangkabau tersebut. Rumah Gadang begitu nama yang biasa disebut untuk rumah adat Minangkabau. A.A. Navis dalam buku Cerita Rakyat dari Sumatera Barat menyebutkan Rumah Gadang juga memiliki nama lain Rumah Bagonjong atau Rumah Baanjuang oleh masyarakat Minangkabau. Penamaan ini disinyalir berdasarkan bentuk gonjong yang saling berdekatan sehingga terkesan berderet memanjang dan bergesekan. Masyarakat Indonesia begitu mengenalinya karena rumah gadang telah menjadi ikon untuk menunjukkan kekhasan atau warna identitas. Akan tetapi, ada banyak cerita menarik yang belum banyak diketahui tentang Rumah Gadang dari asal usul hingga makna arsitekturnya.

***

Rumah Gadang sebagai kekayaan budaya diceritakan lahir sebagai lambang kemenangan kerbau raja Minangkabau melawan raja Jawa karena tanduk runcingnya. Lambang tanduk inilah yang digunakan sebagai penanda kejayaannya. Cerita lain asal muasal bentuk atap rumah gadang yang runcing adalah bentuk kapal "Lancang" pada waktu itu melintasi Sungai Kampar. Bentuk bangunan Rumah Gadang pun meniru badan kapal "Lancang" yang ditumpangi nenek moyang orang Minangkabau.

Diceritakan saat kapal itu sampai di muara sungai, dibawalah ke daratan oleh peara penumpan dan awak kapal agar tidak lapuk. Lancang pun ditopang dengan kayu-kayu agar dapat berdiri dengan kuat. Kemudian, diberilah atap dengan tiang layar yang diikat tali . Beratnya beban menyebabkan tiang miring dan melengkung dan berbentuk lancip mirip seperti gonjong Rumah Gadang.

Lancang pun beralih fungsi menjadi tempat tinggal kediaman sementara. Setelah beberapa lama, penumpang pun membuat tempat tinggal menyerupai lancang. Nenek moyang pun melanjutkan perjalanan dan meyebar akan tetapi bentuk lancang yang bergonjong terus digunakan oleh masyarakat sebagai ciri khas rumah mereka. Oleh orang Minang bentuk rumah seperti lancang yang bergonjong tersebut disebut Rumah Gadang.

Filosofi hidup masyarakat Minangkabau yang menganut falsafah alam pun turut mempengaruhi bentuk bangunan Rumah Gadang. Jika diperhatikan bentuk dan garis bangunan Rumah Gadang begitu serasi dengan Bukit Barisan sebagai salah satu gambaran alam di wilayah Minangkabau. Bukit Barisan memiliki garis lengkung pada puncaknya dan pada bagian tengah yang meninggi, serta garis lereng yang melengkung dan mengembang ke bawah dan bahkan bentuknya pun segi tiga. Bentuk gonjong tersebut dimaknai sebagai harapan untuk mencapai Sang Pencipta.

Secara estetik, garis alam Bukit Barisan dan Rumah Gadang terlihat ada perbedaan namun memiliki muatan harmonis. Komposisi tersebut secara fungsi menunjukkan adanya penyesuaian dengan kondisi alam yang tropis. Bentuk atap yang lancip pun dapat membebaskan endapan air pada ijuk yang berlapis sehingga curah hujan yang tinggi pun akan cepat meluncur pada atap. Sementara dindingnya dibuat dari potongan anyaman bambu sebagai lambang kekuatan dan utilitas masyarakat Minangkabau

Bentuk bangunan Rumah Bagonjong itu begitu syarat dengan makna. Jika diperhatikan seksama bangunan rumah tersebut besar ke atas dan ini disebut silek yang berfungsi untuk membebaskan dan terpaan tampias. Tingginya kolong memberikan kesegaran saat musim panas sehingga hawanya selalu sejuk. Ketinggian bangun yang mencapai 2 meter pun memberikan kenyaman pada penghuni sehingga aman dari serangan hewan buas pada masa lampau. Bangunan yang berjajar menurut arah mata angin, yaitu dari utara ke selatan berfungsi membebaskan penghuninya dari terpaan panas matahari dan angin.

Makna filosofi lainnya pada bentuk rumah adat Minangkabau ini adalah pada bagian depan yang dibuat tinggi menyerupai rumah panggung. Tujuan ini adalah agar bagian bawah dapat digunakan untuk mencuci kaki dan bagian depan dibuatkan tangga pada pintu masuk. Tangga yang digunakan untuk memasuki rumah diletakan pada bagian depan dan tidak boleh lebih dari satu. Makna satu tangga ini adalah berkaitan dengan ajaran agama Islam sebagai agama yang mayoritas dianut masyarakat Minangakabau, yaitu percaya kepada Tuhan yang Maha Esa.

Berdasarkan falsafah alam yang melingkupi bangunan Rumah Gadang Minangkabau tersebut, terlihat banyak fungsi bagi kehidupan masyarakat Minangkabau. Bahkan, bagi masyarakat Minangkabau Rumah Gadang dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Kolam ikan yang dibangun di depan rumah, selain untuk memelihara ikan juga menunjukkan adanya sumber air yang banyak sebagai kebutuhan vital sehari-hari. Selain itu, di depan rumah terdapat Rangkiang dengan bentuk bujur sangkar beratap ijuk bergonjong. Bangunan ini memiliki 4 hingga 6 tiang dan salah satu sisinya memiliki pintu kecil. Rangkiang merupakan bentuk atau simbol survival masyarakat Minangkabau. Rangkiang ini pun memiliki macam-macam berdasarkan fungsinya masing-masing. Semua rangkiang memiliki fungsi untuk menyimpan padi, tetapi ada yang berisi padi abuan atau bibit, padi untuk makan sehari-hari, padi untuk masa paceklik, dan padi untuk hal atau kondisi lainnya.

Secara rinci berikut nama-nama Rankiang yang terdapat di Rumah Gadang. Pertama, Sitinjau Lauik, rangkaian ini memiliki fungsi sebagai tempat menyimpan padi dan digunakan untuk dijual bagi keperluan bersama atau pos pengeluaran adat. Rangkiang ini berbentuk langsing, bergonjong dan berukir, terdiri dari empat tiang dan diletakan ditengah. Kedua, Sibayau-bayau, rangkiang ini berguna untuk menyimpan padi untuk kebutuhan sehari-hari. Bentuk rangkiang ini besar/gemuk, bergonjong dan berukir, memiliki enam tiang dan letaknya di kanan. Ketiga, Sitangguang Lapa/Sitangka lapa, rangkiang ini digunakan untuk menyimpan padi pada musim kemarau dan membantu masyarakat miskin. Rangkiang ini berbentuk segi, bergonjong, berukir, teridir dari empat tiang dan diletakan di sebalah kiri. Keempat, Kaciak/kecil, rangkiang ini berfungsi untuk menyimpan padi bibit sebagai biaya untuk mengolah sawah kembali. Bentuk rangkiang ini bundar, bergonjong dan berukir, diletakan antara ketiga rangkiang yang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline