"Bu, ana kiriman sekang pak Lurah." Suara berat pak Mansyur terdengar bertepatan dengan kehadiran sosoknya di dapur. Tangannya mengangsurkan dua bungkusan plastik.
Lurah kampung ini masih terhitung kerabat kami. Beliau adik ipar bapak. Rumahnya dekat saja. Berjarak dua rumah dari sini.
"Kiriman apa?" Nenek Bin, ibuku menyahut.
"Sadranan. Kiye kanggo Bu Shoim," pak Mansyur menyebut nama ibuku. "kiye kanggo ibu sijine." Pak Mansyur menunjukku dengan logat bahasa Jawa Banyumasan yang kental. Orang menyebutnya bahasa Ngapak.
"Kiye jenenge Bu Yosi, udu ibu sijine." Mbah Bin memperkenalkanku secara resmi. Pak Mansyur tertawa lebar lalu berpamitan. Menjinjing bungkusan nasi sadranan untuk tetangga samping rumah.
Sadranan atau Nyadran merupakan salah satu tradisi masyarakat Jawa yang dilakukan di bulan Syaban untuk menyambut datangnya Ramadan.
Core of the core-nya nyadran adalah ungkapan rasa syukur atas nikmat Allah. Namun rasa syukur ini bentuknya berbeda-beda setiap wilayah. Tergantung kebiasaan dan adat masyarakat setempat.
Ada yang cukup ziarah ke makam keluarga. Ada yang pakai acara makan bersama di area kuburan. Berbagi makanan antar keluarga.
Ada pula sadranan yang melibatkan anak-anak dengan mandi bersama di sungai atau pemandian kampung sebagai wujud bersih diri. Banyak macamnya cara masyarakat kita menyambut bulan Ramadan.
Berbagi salah satunya. Mensyukuri nikmat karena Allah takdirkan masih berumur sampai Ramadan tahun ini. Menyambut bulan suci dengan berbagi kebaikan di hari Jumat.