Asap khas sisa dari pembakaran kayu menerobos keluar dari ventilasi warung makan rumahan yang berada tepat di tengah pemukiman warga. Hal yang pertama dituju oleh orang-orang yang datang ke warung makan rumahan ini adalah pawonnya.
Dinding batu bata yang menghitam dengan tungku-tungku kayu yang berjejeran mempunyai ciri khas tersendiri di pawon ini. Di samping tungku yang berjejer, terdapat lincak kayu berisikan baskom besar yang memuat menu andalan di pawon ini, yaitu mangut lele.
Itulah warung Mbah Marto. Warung yang berkonsep prasmanan atau open house yang tradisional ini tak pernah sepi pengunjung. Dengan suasana yang homey, kita bisa mengambil mangut lele yang sudah ditata apik di atas lincak atau kursi kayu khas jawa langsung dari dapur pembuatannya. Tak hanya mangut lele, disini juga terdapat makanan pendamping lainnya seperti krecek, gudeg nangka, garang asam, serta opor ayam.
Hal yang menarik dari warung ini adalah pawon atau dapur milik Mbah Marto yang digunakan untuk memasak mangut lele masih tergolong tradisional.
Semua alat yang digunakan untuk mengolah masakan persis seperti dapur jawa jaman dahulu. Masih menggunakan tungku dengan bahan bakar kayu yang sangat khas dan sederhana.
Hal menarik selanjutnya dari warung ini adalah cara memasaknya. Di Warung Mangut Lele Mbah Marto, ikan lele diasap terlebih dahulu bukan digoreng. Saat diasap, lele ditusuk terlebih dahulu menggunakan tulang daun kelapa agar tetap lurus sempurna.
Mbah Marto mengatakan bahwa proses pengasapannya pun harus menggunakan arang yang berasal sabut kelapa agar rasanya lebih khas. Bumbu mangut lele sendiri terdiri dari santan, cabai rawit, petai, daun salam, bawang merah, bawang putih, kencur, gula merah, kemiri, jahe serta daun jeruk.
Bumbu-bumbu tersebut diolah dengan cara tradisional yakni diulek di cobek batu agar lebih beraroma. Setelah itu, lele dimasak di atas tungku kayu hingga matang.
Saat sudah matang pun mangut lele masih dibiarkan di atas tungku agar tetap hangat. Hal ini berlaku juga untuk hidangan pendamping lainnya.