Lihat ke Halaman Asli

Yoshy Hendra Hardiyan Syah

S1 Aqidah dan Filsafat Islam dan S2 Studi Agama-Agama, UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG.

Ihwal Kausalitas

Diperbarui: 31 Oktober 2022   22:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Yakin, kita bisa mengendalikan hukum kausalitas dengan sempurna? Namun bagaimana peran Tuhan dalam ciptaan-Nya, jika kita mampu merasa bisa mengendalikan hukum kausalitas dengan sempurna? Emang kita siapa kok berani merasa bisa mengendalikan kausalitas?

Didalam dunia filsafat, dunia pemikiran retorika dan dialektika, dan dunia aktivitas sehari-hari di kalangan masyarakat, pasti ada yang namanya sebuah “keraguan”. Keraguan inilah bisa berbentuk berbagai hal; entah itu berupa ragu terhadap apa yang “Ada” dan apa yang “Mungkin Ada”. Saya ambil contoh apa yang “Ada”, yaitu ragu terhadap tubuh/raga kita, ragu terhadap alam semesta, dan bahkan bisa meragukan sekaligus tentang keberadaan Tuhan. Lalu, saya ambil contoh ragu terhadap apa yang “Mungkin Ada”, yaitu ragu terhadap adanya Surga dan Neraka.

Dalam istilah “meragukan terhadap tubuh/raga kita”, semua pandangan para dokter dan perawat secara otomatis dengan keyakinannya ia mengatakan bahwa, tubuh kita ini lebih mudah untuk diduga segala macam gejala yang berhubungan dengan kinerja tubuh. Namun menurut para dokter yang terkemuka dan professional, sesungguhnya dalam perihal tersebut ilmu kedokteran masih jauh dari kata sempurna untuk menduga adanya segala macam gejala yang berhubungan dengan efek kinerja tubuh.

Dalam hal ini rupanya ada suatu korelasi yah, yaitu berkaitan dalam peradaban aliran positivism-saintism, yang berpendapat bahwa segala sesuatu efek kejadian di alam semesta ini sesungguhnya bersifat kausalitas, yang dipengaruhi oleh adanya hukum sebab akibat yang kental/rigid. Akan tetapi, yang saya singgung disini adalah manusia itu merasa sok/paling bisa untuk tahu akan komponen adanya hukum sebab akibat dan lebih parahnya lagi merasa bisa mengendalikan itu dengan sempurna.

Buktinya adalah ada seorang perawat, ahli dalam kesehatan, ahli kedokteran yang telah gembor-gembor menyatakan “tips dan trik hidup sehat” dan seolah-olah dengan keyakinannya ia menggembor-gemborkan hal tersebut. Sehingga dalam pandangan orang yang gak ngerti akan hal itu, seolah-olah menjadi resep yang ampuh lalu dijalankan dengan berpikiran, oh saya kalo melakukan tips dan trik ini saya akan jadi sehat, awet muda, panjang umur. Akan tetapi, banyak bukti orang yang hidup dengan pola hidup sehat eh ternyata mengalami sakit juga dan berdampak pada kematian bisa jadi disebabkan oleh penyakit yang tidak biasa dan tidak terduga sebelumnya, kalo dalam istilah hal tersebut itu “sakit tiba-tiba”. Kata orang jawa, bahwa mangan/pola urip sehat iku rausah neko-neko, syukuri ae urip iki ojok kakehan pola engkok dadi salah kedaden. Dan pada kenyataannya justru orang yang tidak berpola hidup sehat aja sehat seutuhnya ketimbang yang berpola hidup sehat. Ada sebuah kata-kata, sehat itu tidak harus mahal, pola hidup yang tidak sehat itu belum tentu penyakitan justru bisa menyehatkan.

Maka dalam kasus tersebut, akhirnya ada suatu kesimpulan bahwa seharusnya, hal tersebut telah menyadarkan pada kita semuanya hukum kausalitas itu tidak sekaku itu, tidak sesimple itu, tidak semudah itu dalam menilai hukum kausalitas karena kita ini masih jauh dari kata mampu memahami kausalitas apalagi mengendalikannya sehingga dengan yakin menggembor-gemborkan tips dan trik pola hidup sehat. Karena dalam konteks hukum sebab akibat itu memiliki variabel yang begitu banyak dan sangat kompleks.

Dalam kaitannya dengan sehat dan penyakitan itu tidaklah lepas dari yang namanya “Takdir”. Didalam Pemikiran Teologi Islam, pasti ada yang namanya perbedaan pendapat yang mungkin tiada hentinya tentang takdir dari Tuhan atau takdir nasib manusia didunia ini predeterministik(takdir yang sudah ditetapkan Tuhan sejak azali).

Pada aliran teologi Jabariyah menganggap bahwa, takdir manusia itu sudah ditentukan sejak azali yang tidak dikurangi atau dilebihi dan menganggap hukum kausalitas itu tidak ada. Sedangkan pada aliran teologi Mu’tazilah yang berkeyakinan penuh dengan hukum kausalitas dan itupun dapat diduga. Namun pada aliran teologi Jabariah menganggap bahwa, manusia itu merupakan Prajurit dari Raja(Tuhan), yang tidak berhak dan berperan dalam menentukan takdirnya, sebab takdir itu sudah ditetapkan oleh Tuhan kepada seluruh ciptaanNya baik yang berada dilangit maupun dibumi.

Saya akan kutip beberapa contoh, seperti apa yang telah dikemukakan oleh filosof muslim Al-ghazali dan filosof barat modern yaitu David Hume. Dimana dalam membuktikan hukum kausalitas, saya menganaologikan api yang membakar kayu. Apabila kayu terbakar oleh api itu merupakan bukanlah sesungguhnya kayu yang terbakar akibat api yang menghanguskan/melahap kayu, karena ini merupakan bukan suatu kausalitas akan tetapi kayu yang terbakar itu setelah terkena api dan api tersebut pada saat waktu yang sama diberikan oleh Tuhan dengan kemampuan untuk membakar kayu tersebut. Jadi kayak ada semacam peran Tuhan dalam api untuk membakar kayu.

Namun dalam hal ini terdapat dalam konteks islam kasus Nabi Ibrahim AS, sering dikatakan sebagai mukjizat Nabi Ibrahim AS yang tidak terbakar oleh api. Konon, api yang membakar nabi Ibrahim itu gagal dalam membakar tubuh Nabi Ibrahim AS, sebab Allah tidak memberikan izin kepada api untuk berkemampuan membakar tubuhnya. Allah memerintahkan kemampuan api yang semula bersifat panas menjadi dingin, dengan itu api tidak memiliki kemampuan untuk membakarnya melainkan menjadikan rasa dingin pada api tersebut sehingga Nabi Ibrahim AS tidak terbakar oleh api.

Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa, hukum kausalitas itu ada, tetapi tidak rigid yang berarti bahwa Tuhan memiliki suatu berperan dalam hukum kausalitas sehingga menjadi batal akan terjadinya sesuatu. Simplenya begini, segala sesuatu itu atas kehendak Tuhan, apabila Tuhan berkehendak maka akan terjadi sesuatu yang tidak bisa terbantahkan oleh siapapun seperti apa yang telah diyakini oleh orang-orang beriman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline