Di era kekinian, media sosial menjadi sesuatu yang lekat dengan keseharian. Banyak hal, mulai dari karya iseng, interaksi, pekerjaan, sampai berita terkini, tersedia di media sosial.
Alhasil, ada begitu banyak hal yang bisa didapat sekaligus dari media sosial. Dalam perjalanannya, media sosial menjadi satu ruang lintas batas yang kaya warna, dan bisa diakses siapapun, selama ada gawai dan koneksi internet.
Masalahnya, dibalik sifatnya yang lintas batas, media sosial juga punya satu sisi negatif yang kadang keterlaluan, yakni perilaku kelewat batas. Gilanya, perilaku ini bahkan bisa dilakukan orang yang baru pertama kali berinteraksi.
Terbukti, hal-hal seperti status pernikahan, jumlah anak, penghasilan, pekerjaan, sampai riwayat pendidikan langsung dikorek tanpa ampun. Atas nama ramah-tamah, sekilas perilaku membudaya ini wajar.
Padahal, semua info tersebut adalah privasi. Normalnya, tidak semua "orang terdekat" boleh tahu, tapi di era media sosial ini, ada terlalu banyak orang yang tanpa basa-basi langsung bertanya soal informasi pribadi, entah untuk apa.
Di sini, antara bohong dan jujur menjadi sesuatu yang abu-abu. Mau jujur atau tidak dalam menyampaikan informasi pribadi, efeknya hampir sama.
Semakin banyak informasi yang diberikan, semakin banyak hal yang bisa digunjingkan. Maklum, meski kebanjiran sikap ramah di satu sisi, ada kekeringan empati di sisi lain budaya masyarakat Indonesia.
Jangan lupa, data pribadi adalah satu hal yang biasa bocor di negara ini. Terbukti, telepon dari nomor tak dikenal atau pesan spam (termasuk penipuan, iklan pinjol atau judol) sudah jadi makanan sehari-hari kebanyakan pengguna ponsel.
Akibat obsesi untuk menjadi viral, kebiasaan absurd seperti merekam tapi tidak menolong korban (saat terjadi musibah) menjadi satu hal yang dinormalisasi di Indonesia. Benar-benar sebuah kemunduran perilaku yang ironis, karena datang dari hasil kemajuan teknologi.
Belakangan, kekeringan empati di media sosial juga membuat perilaku menghujat dan "doxing" jadi budaya. Entah kenapa, sikap tenggang rasa seperti menjadi tabu di media sosial. Mentang-mentang ini ruang lintas batas, lalu bisa dengan enaknya bersikap kelewat batas.