Kekalahan 0-1 Timnas Indonesia atas Vietnam di fase grup Piala AFF menjadi satu hasil yang mengecewakan, tapi tidak mengejutkan. Maklum, pertandingan ini mempertemukan dua tim yang beda kelas.
Seperti diketahui, Indonesia berangkat ke Vietnam, dengan membawa tim eksperimen yang didominasi pemain muda dari Liga 1, kiper Cahya Supriadi bahkan bermain di Bekasi City, klub Liga 2. Itupun masih tanpa Marselino Ferdinan yang kena suspensi
Materi pemain ini berbanding terbalik dengan Vietnam, yang membawa kekuatan penuh. Jadi, wajar kalau Vietnam mampu mendominasi jalannya pertandingan dan menang.
Sudah materi pemain eksperimen, bermain tanpa kekuatan penuh juga. Tidak kalah telak saja sudah lumayan.
Dari situasinya, memang agak mustahil membawa pemain terbaik dari Liga 1, apalagi klub-klub Eropa, karena kompetisi tidak libur saat Piala ASEAN 2024 digelar. Sudah begitu, rata-rata klub cukup menyadari, mereka punya posisi tawar kuat untuk menolak melepas pemain, karena turnamen tingkat ASEAN ini tidak masuk dalam kalender resmi FIFA.
Dengan kondisi seperti ini, wajar jika PSSI tidak memasang target juara seperti sebelumnya. Tekanan atau kritik pun relatif tidak seberat sebelumnya.
Uniknya, kalau dicermati lagi, rangkaian performa Timnas Indonesia, dan posisi "kurang penting " turnamen Piala ASEAN 2024, turut menghadirkan satu situasi membingungkan.
Ini adalah turnamen yang tidak masuk dalam kalender resmi FIFA. Maka, ada sedikit rasa hambar, karena semua tim yang tampil belum tentu bisa membawa kekuatan penuh.
Masalahnya, ketika hasil yang didapat di tiap pertandingan tak memuaskan, perolehan poin di ranking FIFA bisa berkurang. Otomatis, peringkat FIFA bisa turun.
Dengan bobot poin yang setara laga uji coba tak resmi FIFA, satu pertandingan di Piala AFF sebenarnya tak terlalu signifikan. Kecuali, jika kemenangan atau hasil imbang didapat atas Thailand, Vietnam atau Malaysia.