Di era kekinian, ada banyak upaya pelestarian lingkungan secara kreatif. Mulai dari penggunaan bahan alternatif pengganti plastik, sampai penggunaan bahan daur ulang.
Dari sekian banyak yang muncul ke permukaan, Ajeg Social menjadi satu komunitas yang cukup unik. Disebut demikian, karena mereka mampu mengkombinasi hobi dengan sebuah idealisme.
Dari sisi hobi, komunitas asal Solo ini menekuni sebuah hobi yang membutuhkan kesabaran ekstra, yakni merajut. Sementara itu, dalam hal idealisme, mereka berusaha memberikan dukungan pada gerakan "sustainable fashion" lewat hobi yang ditekuni.
"Sustainable movement" sendiri pada dasarnya merupakan satu gerakan "idealis", karena mengupayakan terwujudnya sesuatu yang "ideal" atas satu hal spesifik, meski pada prosesnya masih terus disempurnakan.
Kombinasi seperti ini biasanya terasa menyenangkan buat yang menjalani, tapi ada satu sudut pandang menarik di sini, karena Ajeg Social bisa melirik satu potensi yang kadang terlupakan, yakni sisa produk tekstil, dalam hal ini pakaian bekas.
Biasanya, pakaian bekas hanya berakhir menjadi "barang sumbangan", dengan catatan, kondisinya masih layak pakai, tapi di tangan Ajeg Social, produk "sisaan" ini mampu dibuat "naik kelas" menjadi hasil karya kreatif baru, seperti yang saya jumpai Minggu, (11/8) lalu.
Bertempat di Pasar Wiguna, Ambarukmo, Yogyakarta, Ajeg Social mengadakan workshop membuat tas rajut berbahan baju bekas. Meski tidak bisa ikut merajut karena kondisi tangan yang kurang kompatibel, saya berkesempatan melihat sedikit "benang merah" yang muncul di sana.
Untuk sebuah komunitas yang belum genap berumur setahun, ini adalah satu lompatan besar. Ada satu nilai unik komunitas, yang mampu ditangkap pihak eksternal di luar daerah asal, seperti Pasar Wiguna.
Sebelum ini, tepatnya pada bulan Juli 2024 silam, Ajeg Social juga mengirim wakil dalam event Netas On Java Camp besutan Kemenparekraf dan Genpi, yang kebetulan juga saya ikuti.