Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Sengkarut Kriteria Batas Usia Kerja

Diperbarui: 6 Agustus 2024   08:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Kompas.com)

Judul di atas adalah satu pertanyaan sekaligus kritik yang muncul di pikiran saya, ketika melihat masih jamaknya batas usia dalam kriteria lowongan kerja. Sebagai difabel, saya biasa melihat ini sebagai filter tanda "verboden" yang sejajar dengan syarat "sehat jasmani rohani".

Maklum, rata-rata batas umur yang biasa dipasang adalah 23-25 tahun. Otomatis, jika batasan umur ini di-combo dengan "syarat sehat jasmani dan rohani", itu sama dengan jalan yang dipasang tanda verboden dan marka beton permanen.

Ini belum termasuk kalau ada "jalur orang dalam" atau sejenisnya. Kalau pekerjaan itu sebagai atlet atau aparat keamanan, batasan usia masih bisa dimengerti, tapi bagaimana dengan posisi pegawai biasa?

Boleh saja pihak pemberi kerja beralasan, mereka butuh pekerja yang masih prima dan bisa bekerja dalam jangka panjang. Masalahnya, alasan ini sudah tidak relevan dengan tren masa edar tenaga kerja yang cenderung semakin pendek di satu tempat.

Tidak seperti 2-3 dekade lalu, sudah semakin sedikit tenaga kerja yang bekerja sampai puluhan tahun atau pensiun di satu tempat. Tren ini semakin nyata, ketika Omnibus Law disahkan pemerintah.

Undang-Undang ini lalu menjadikan ikatan kerja dalam kontrak jangka pendek (6 bulan atau kurang) menjadi satu fenomena umum, yang justru melanggengkan ruang diskriminasi usia tenaga kerja. Apa boleh buat, usia 26 tahun ke atas jadi terlihat seperti sudah jompo.

Dengan situasi seperti ini, semua jadi terlihat rumit. Munculnya tren kerja kontrak jangka pendek (layaknya tenaga outsourcing) membuat banyak orang secara alamiah menjadi "kutu loncat" di dunia kerja. Sebuah konsekuensi yang mau tak mau harus diterima.

Ketika kesempatan punya pekerjaan tetap tak ada, melompat dari kontrak ke kontrak, proyek ke proyek, menjadi pilihan logis. Ibarat orang terombang-ambing di lautan, tanpa sekoci, pelampung atau papan pun jadi. Sambil menunggu kapal yang entah kapan ada.

Lucunya, fenomena "kutu loncat" ini malah dianggap sebagai satu nilai minus bagi sebagian perusahaan, yang mau tak mau membuat pekerjaan dengan posisi sebagai "karyawan tetap" semakin sulit didapat. Ketika usia bertambah, batasan umur pada akhirnya menjadi tembok pembatas.

Sebagus apapun rekam jejaknya, percuma kalau usianya tidak sesuai kriteria. Padahal, di negara maju, pendekatan seperti ini adalah satu tindakan diskriminasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline