Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Paradoks Sepakbola Era Industri

Diperbarui: 11 Juli 2024   07:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Tribunnews.com)

Seiring berkembangnya industrialisasi sepak bola, berbagai aspek di dalamnya pun ikut berkembang. Mulai dari taktik, teknik, sampai medium siaran langsung, semua berevolusi sampai ke titik yang sebelumnya tak terpikirkan, seperti layanan streaming yang bisa diakses di ponsel, laptop dan TV digital.

Di atas lapangan, teknologi VAR, yang di negara-negara maju sudah dilengkapi juga dengan teknologi detektor offside semiotomatis (SAOT), plus teknologi garis gawang.

Dengan detail selengkap ini, seharusnya sepak bola modern relatif bebas masalah. Hampir tak ada celah untuk membuat kesalahan atau keputusan kontroversial, kecuali jika ada "human error" fatal.

Tapi, sisi perfeksionis ini justru menjadi awal masalah lain, yakni penurunan kualitas permainan secara umum. Akibat detail ekstra yang ada, ditambah jadwal pertandingan superpadat, para pemain cenderung terlalu hati-hati.

Alhasil, sepak bola lebih bisa dinikmati, hanya sebagai satu tontonan olahraga ketimbang hiburan. Tak ada ruang improvisasi atau aksi individu cukup luas, karena itu rawan menjadi satu titik lemah.

Maklum, sepak bola era kekinian lebih terfokus pada sistem permainan yang padu secara kolektif. Hanya pemain berkemampuan sangat istimewa saja yang bebas berimprovisasi, dan tidak banyak pemain seperti itu dalam satu tim.

Maka, bukan kejutan kalau pertandingan sepak bola terasa hambar di era kekinian. Gaya main terlalu hati-hati, dan cenderung menunggu lawan membuat kesalahan memang terlihat rapi dari luar, tapi sangat membosankan.

Saking bosannya, sebagian penonton di rumah mulai terbiasa menonton siaran langsung sepak bola sambil lalu. Entah sambil masak, bersih-bersih atau yang lain. Tak bisa dipungkiri, adanya "aktivitas lain" di tengah tontonan menjadi satu obat bosan cukup ampuh.

Penurunan kualitas, terutama dari segi improvisasi dan kreativitas, menjadi satu paradoks, karena pada saat bersamaan, teknologi dan nilai jual maju pesat.

Lucunya, masalah ini juga diikuti dengan terus naiknya harga hak siar. Bagi pemilik hak siar, mungkin ini kabar baik, tapi bagi sebagian konsumen, ini menyeramkan, karena mereka harus menerima kenaikan harga layanan berbayar cukup tinggi dari tahun ke tahun. Seperti kena inflasi besar saja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline