Pada Copa America 2024, perhatian pecinta sepak bola terpusat pada Brasil dan Argentina, dengan perjumpaan kedua tim (seperti biasa) menjadi skenario final ideal favorit penonton.
Ini cukup bisa dimengerti, karena kedua tim sama-sama punya sejarah dan jejak rivalitas panjang, lengkap dengan sederet prestasi dan tim bertabur bintang.
Dengan timpangnya situasi aktual di tim Argentina dan Brasil, muncul satu tim alternatif yang sebenarnya juga merupakan tim jagoan klasik Amerika Selatan, yakni Uruguay. Seperti diketahui, La Celeste (bersama Argentina) merupakan tim tersukses di Copa America, dengan sama-sama 15 kali juara turnamen.
Tapi, tidak seperti Brasil dan Argentina, Uruguay sempat timbul-tenggelam, bahkan mereka sempat beberapa kali absen di Piala Dunia, dengan yang terakhir datang pada edisi 2006.
Pamor juara Piala Dunia 1930 dan 1950 ini baru kembali mencuat, ketika mencapai semifinal Piala Dunia 2010 dan juara Copa America 2011.
Bermaterikan trisula Luis Suarez-Edinson Cavani-Diego Forlan, Uruguay yang kala itu diasuh Oscar Tabarez muncul bak raksasa bangun dari tidurnya.
Hanya saja, gaya main tim yang terlalu "textbook" dan menuanya para pemain kunci, membuat Los Charruas perlahan kembali menurun.
Setelah gagal lolos dari fase grup Piala Dunia 2022, AUF (PSSI-nya Uruguay) pun membuat gebrakan, dengan merekrut Marcelo Bielsa. Pelatih asal Argentina ini menjadi pelatih asing kedua sepanjang sejarah tim nasional Uruguay setelah Daniel Passarella (Argentina, 1999-2001).
Mereka melihat, filosofi klasik "Garra Charrua" (permainan lugas dan ulet khas Uruguay) perlu diperbarui, supaya bisa tetap adaptif di era kekinian.