Lihat ke Halaman Asli

Yose Revela

TERVERIFIKASI

Freelance

Xavi, Barca, dan Beban Berat Sebuah Ekspektasi

Diperbarui: 31 Januari 2024   10:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pelatih Barcelona Xavi Hernandez saat laga La Liga melawan Villarreal di Stadion Olimpic Lluis Companys, Barcelona, Minggu (28/1/2024) dini hari WIB. Xavi mengumumkan bakal mundur di akhir musim seusai kalah 3-5 pada laga ini. (AP Photo/Joan Monfort via Kompas.id)

Di sepak bola modern, terutama di tim-tim besar, hampir selalu ada harapan tinggi untuk berprestasi. Biasanya, harapan ini menjadi satu target, entah untuk jangka pendek atau panjang, juga berbanding lurus dengan nama besar klub, kemampuan tim, dan kemampuan pelatih secara umum.

Karena itulah, banyak klub yang berani menggelontorkan dana lebih, untuk mewujudkan harapan itu. Memboyong banyak pemain bintang dan membayar mahal pelatih top pun rela dilakukan.

Meski harus menguras isi brankas klub, selama bisa mendatangkan prestasi, itu bukan masalah. Yang penting jadi.

Fenomena ini misalnya bisa kita lihat di Liga Spanyol, ketika Real Madrid dan Barcelona (seperti biasa) jadi pesaing juara. Dua tim rival bebuyutan itu sama-sama hobi belanja pemain bintang dan merekrut pelatih top.

Hanya saja, sejak pandemi, situasinya cenderung timpang. Real Madrid masih kuat belanja pemain bintang dan konsisten berprestasi, sementara Barcelona cukup banyak mengandalkan transfer gratisan atau pemain muda, sambil memastikan anggaran gaji klub tetap aman.

Gawatnya, disaat El Real relatif stabil bersama Carlo Ancelotti, Barca mengalami naik-turun dan pergantian di pos pelatih dan presiden klub, tapi masih dibebani target prestasi tinggi.

Padahal, kondisi keuangan The Catalans sedang berantakan. Ada utang menumpuk akibat mismanajemen, juga proyek renovasi dan penambahan kapasitas Stadion Nou Camp.

Ditambah lagi, Barca juga masih mencari sosok penerus ideal Lionel Messi, dan membangun kembali filosofi sepak bola klub. Jelas, ini bukan Barca periode 2005-2015 yang kental dengan tiki-taka, bergelimang prestasi, dan menjadi tim impian pemain top.

Tapi, gengsi sebagai klub rival bebuyutan Real Madrid dan ekspektasi yang masih tinggi membuat semua jadi ruwet. Ketika Xavi datang ke Nou Camp, setelah awal karier kepelatihan yang sukses di Al Sadd (Qatar, 2019-2021) namanya sudah langsung dianggap sebagai penerus tongkat estafet Pep Guardiola.

Maklum, eks maestro lini tengah Barca ini dulunya merupakan jenderal lapangan tengah kala klub berjaya di era Pep Guardiola. Pep sendiri dianggap sebagai penerus tongkat estafet Johan Cruyff, karena merupakan salah satu personel "The Dream Team" asuhan sang legenda Belanda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline