Di era kekinian, ada begitu banyak ragam konten promosi kuliner, lengkap dengan beragam gaya penyampaian. Mulai dari santai sampai menjurus ekstrem.
Tapi, di balik keragaman ini, ada satu hal yang sama-sama dihadirkan, yakni "gimmick" berbentuk label kata sifat tertentu, untuk sebuah restoran atau produk kuliner.
Secara kasat mata, ini memang satu fenomena wajar, karena merupakan cara umum menarik perhatian audiens dan promosi. Masalahnya, ketika cara atau kata "gimmick" yang digunakan cenderung monoton, konten tersebut bisa jadi jebakan.
Dari sekian banyak "gimmick" yang ada, kata "hidden gem", "legend" atau "legendaris" menjadi "gimmick" paling "pasaran", tapi masih ampuh digunakan. Padahal, masih banyak "gimmick" yang bisa digunakan, seperti pada gambar di atas.
Tiga kosakata ini memang cukup menarik, karena banyak memanfaatkan sisi afeksi audiens, dengan mengangkat pesan "ada yang spesial di sini, tapi kadang luput dari perhatian".
Hasilnya, audiens akan cenderung tertarik dan punya harapan tinggi pada satu restoran atau produk kuliner yang mendapat label tersebut.
Masalahnya, karena tidak ada parameter baku untuk mengukur kepantasan label yang dipromosikan, berkuliner ke restoran "hidden gem" akan terlihat seperti sebuah spekulasi. Apalagi, kalau restoran berlabel "hidden gem" itu punya menu "legend" dan terkenal sebagai restoran legendaris.
Membacanya saja sudah pusing, tapi masih ada saja banyak orang yang mau mencoba.
Mungkin, ini jadi alasan logis, kenapa "gimmick" seperti kata "gemoy" menjadi satu strategi kampanye Pemilu 2024.
Kalau rasanya oke dan harganya masuk akal, mungkin tak masalah.Bagaimana kalau harganya tak masuk akal, dan rasanya tak sesuai ekspektasi awal?