Infografis di atas mungkin terlihat miris, karena menempatkan Indonesia di peringkat 71 dari 75 negara dalam hal minat baca. Meski ini merupakan hasil penelitian tahun 2018, masalahnya masih relevan hingga sekarang.
Pada tingkat lebih tinggi, minat baca rendah juga menjadi pemicu rendahnya minat seseorang menjadi penulis. Seperti diketahui, menulis sendiri adalah tahap lanjut dari membaca.
Sebagai seorang "tukang nulis", saya sendiri menjumpai, ada setidaknya dua akar masalah, yang membuat menulis jadi terlihat sebegitu menakutkan.
Pertama, ada kecenderungan untuk membatasi seseorang bebas beropini dengan kata-kata sendiri, bahkan pada peristiwa yang dilihat langsung (misal: siaran "breaking news", cuplikan berita atau pertandingan olahraga di televisi).
Dalam beberapa kasus, kecenderungan ini dibatasi oleh "ketiadaan referensi data ilmiah" yang bersifat empiris. Padahal, beropini pada apa yang dilihat langsung seharusnya hanya membutuhkan sudut pandang murni si penulis.
Dengan kata lain, ada keberanian untuk bersuara, walau hanya lewat rangkaian kata, yang perlu dihidupkan sebagai langkah pertama. Ini mungkin terdengar klise, tapi menjadi satu langkah penting untuk membangun kepercayaan diri dan kebiasaan menulis.
Meski di awal masih belepotan sekalipun, kepercayaan diri akan jadi bahan bakar ampuh, yang akan mendorong seseorang untuk berkembang. Entah belajar otodidak atau tidak, punya bakat khusus atau tidak, selalu ada langkah pertama dari ribuan atau jutaan langkah.
Kalau mau melangkah pertama kali saja sudah dijegal dengan hal-hal yang sifatnya terlalu teknis, jangan kaget kalau banyak orang yang awalnya bersemangat jadi enggan, bahkan trauma.
Situasinya sama seperti bocah usia SD yang baru masuk akademi sepak bola dan belum pernah latihan sama sekali, tapi sudah dipaksa berhadapan langsung dengan pemain pro di partai resmi.
Hasilnya, babak belur luar dalam. Sudah jadi bulan-bulanan secara fisik dan mental, masih juga ditambah kalah memalukan. Bukannya berkembang, yang ada malah tamat karena trauma.