Selama masa sekolah dulu, ujian akhir semester atau sekolah biasa jadi periode yang kadang terasa aneh buat saya pribadi, terutama pada masa SMP dan SMA (2005-2011). Periode ini sebenarnya penuh tekanan, karena menjadi pertandingan final.
Pilihannya simpel: sukses atau gagal total. Diantara semua pertandingan "final" itu, Ujian Akhir Nasional menjadi pertandingan final bertekanan "harus menang" paling besar.
Saking besarnya tekanan itu, saya sampai sering melihat, orang-orang yang tadinya banyak tingkah, mendadak jadi insaf bahkan sangat religius. Seperti mimpi saja.
Selain karena menentukan kelulusan siswa, persentase kelulusan juga akan memengaruhi reputasi sekolah. Makanya, ada rangkaian tahap persiapan begitu panjang dan intens. Targetnya simpel: lulus seratus persen.
Tapi, di balik tekanan "harus menang" itu, tetap membawa sedikit rasa janggal: sebuah proses belajar yang tidak sebentar, hanya akan ditentukan oleh sepaket soal pilihan ganda. Ya, pilihan ganda.
Aneh, tapi begitulah adanya. Keanehan ini malah semakin sempurna, ketika ada banyak lembaga bimbingan belajar menawarkan paket belajar intensif, lengkap dengan aneka strategi menghadapi soal pilihan ganda.
Jujur saja, pada titik ini, saya kadang merasa, Ujian Akhir Nasional adalah sebuah permainan judi yang dilegalkan, bahkan jadi penentu nasib. Seperti babak adu penalti di pertandingan final turnamen sepak bola.
Tapi, kalau melihat pendekatan dan tujuan akhirnya, keanehan ini justru terasa masuk akal. Tujuan akhirnya memang angka skor, bukan nilai.
Jadi, wajar kalau jauh lebih banyak materi hapalan ketimbang pemahaman. Selesai ujian pun, kepala terasa kosong, karena perintah "datang, kerjakan, lupakan.", sudah biasa terprogram untuk menghadapi ujian. Apalagi kalau pikiran sudah mulai digoda rencana liburan panjang.
Kalau tiba-tiba buntu, tinggal pakai saja jurus lempar koin, menghitung kancing dan kawan-kawan. Namanya juga kepepet, boleh saja untung-untungan. Kalau betul ya syukur, salah ya sudah.