Dalam beberapa hari terakhir, banyak muncul konten bahasan tentang Perpres Jurnalisme Berkualitas. Pada dasarnya, aturan ini bertujuan meredam hoaks dan memfilter konten sampah.
Kalau fokus pada tujuan dasarnya, aturan yang dicetuskan Dewan Pers ini sebenarnya relevan dengan masalah yang ada. Dalam hal ini, kualitas konten di Indonesia secara umum.
Sudah terlalu banyak konten yang hanya mengutamakan jumlah klik ketimbang manfaatnya bagi pemirsa, entah pembaca, penonton, atau pendengar.
Bahkan, ada banyak konten berita yang isinya sama persis dengan platform media lain. Ada juga yang menyadur dari laman asing dengan terjemahan seadanya.
Tentu saja, para kreator konten ini tak bisa sepenuhnya disalahkan. Mereka hanya melihat peluang dari minat baca kurang tinggi di masyarakat, dan ceruk pasar audiens potensial.
Ditambah lagi, tuntutan untuk bergerak cepat dan selalu update selalu mengejar bersama "deadline" yang kadang begitu mepet. Apa boleh buat, prinsip "yang penting beres" akan lebih diutamakan. Kalau tidak, bisa kena penalti dari atasan & keluhan warganet.
Memang, faktor tingkat pendidikan dan pendapatan audiens juga berpengaruh membentuk lanskap pasar, tapi bukan berarti para audiens tidak berhak mendapat asupan konten berkualitas.
Malah, disinilah kreator konten seharusnya bertanggung jawab, untuk mengedukasi lewat konten berkualitas, supaya mereka bisa ikut andil membentuk masyarakat madani, bukan sumbu pendek.
Makanya, ketika Dewan Pers mencetuskan Perpres Jurnalisme Berkualitas, kita bisa melihat, ada dasar pertimbangan faktual yang memang perlu diambil tindakan.
Masalahnya, ketika pendekatan yang digunakan tidak tepat, kekacauanlah yang bisa jadi datang. Pada kasus Perpres Jurnalisme Berkualitas, pendekatan yang digunakan cenderung melawan "hukum alam" soal informasi di era digital.