Di era kekinian, khususnya di era digital, label centang biru menjadi satu hal yang cukup prestise, karena dinilai mewakili kualitas, kredibilitas, dan popularitas sebuah akun. Entah itu perorangan atau korporasi, selama ada centang biru, tak ada yang perlu diragukan lagi.
Di platform media sosial seperti Twitter dan Instagram, keberadaan akun centang biru biasa membuat orang tanpa ragu menjadi followers akun tersebut.
Kesempatan meraup cuan dari sponsor pun terbuka lebar, karena tanda centang biru biasanya punya kriteria khusus, yang tidak sembarang orang bisa dapat.
Pada lingkup lebih kecil, misalnya di Kompasiana, tanda centang biru menjadi satu tanda "pengakuan" kualitas seorang Kompasianer, misalnya atas spesialisasi yang bersangkutan pada topik bahasan tertentu, atau bobot tulisan secara umum.
Meski tidak ada patokan kapan perkiraan waktu yang pasti bisa untuk meraihnya, punya centang biru di akun sendiri tetaplah satu capaian spesial, terutama kalau benar-benar diraih dari usaha sendiri.
Maklum, ada kriteria spesifik yang harus dipenuhi dan dijaga kualitasnya. Ketika semua itu terpenuhi, tantangan berikutnya adalah menjaga, kalau perlu meningkatkan yang sudah ada.
Belakangan, tantangan ini jadi relevan, karena admin sewaktu-waktu bisa mencabut tanda centang. biru, jika dinilai tak memenuhi standar. Kurang lebih seperti orang yang biasa jadi panutan karena disiplin dan bekerja baik, tapi ditinggalkan karena tak lagi disiplin dan bekerja serampangan.
Berhubung centang biru ini gratis dan kriterianya spesifik dari pemilik rumah, arahnya sudah jelas: dapat ya syukur, tidak dapat atau ditarik lagi ya sudah. Itu murni wewenang tuan rumah. Kecuali kalau kita pemilik rumahnya.
Tapi, ketika tanda centang biru bisa diraih hanya dengan membayar, tanpa ada perbedaan level secara khusus seperti di Instagram, ini akan jadi satu tanda tanya besar.