Layang-layang putus. Begitulah gambaran sederhana yang bisa dilihat, dari performa Chelsea akhir-akhir ini. Sejak Januari 2023 saja, mereka hanya menang sekali dan 6 kali kalah dari 11 pertandingan terakhir, termasuk saat ditekuk Tottenham Hotspur 0-2 akhir pekan lalu.
Performa ini sangat jeblok, apalagi mengingat tim dari kota London ini sudah menggelontorkan dana 300 juta lebih di bursa transfer, dan tidak sedang diterpa badai cedera pemain.
Lebih parahnya lagi, tim asuhan Graham Potter juga menghadirkan pendekatan taktik yang aneh di lapangan: miskin kreasi dan tidak klinis di lini serang, dan rawan jebol di lini belakang.
Kalau melihat situasinya, eks pelatih Brighton itu pasti sedang pusing memikirkan bagaimana memadukan pemain dalam tim, supaya sinkron dengan rencana taktiknya.
Masalahnya, ini tidak semudah sihir Harry Potter. Ada situasi kompleks di tim, yang jelas butuh waktu untuk dibenahi, dan itu berawal dari langkah petinggi klub yang terkesan serampangan, bahkan sejak awal musim.
Seperti diketahui, sejak era Todd Boehly dimulai, Si Biru cukup sibuk bongkar pasang tim, bahkan mengganti pelatih Thomas Tuchel dengan Graham Potter saat musim berjalan.
Untuk ukuran kompetisi domestik, Potter memang bukan pelatih ecek-ecek, karena keberhasilannya menjadikan Brighton tim kuda hitam Liga Inggris, dengan gaya main agresif.
Tapi, Chelsea jelas berada di level berbeda. Ini adalah tim yang (sebelumnya) biasa bersaing di papan atas dan berusaha mengejar trofi sebanyak mungkin, bukan malah tersesat di papan tengah.
Makanya, ketika grafik performa The Blues jeblok, banyak yang menganggap, keputusan bos klub memecat Thomas Tuchel sebagai blunder fatal.