Bicara soal merek ponsel legendaris di masa lalu, Nokia termasuk salah satunya. Pada masanya, produk ini bisa dibilang punya masa kejayaan yang cemerlang.
Meski belakangan tenggelam karena perkembangan pesat ponsel Android dan iPhone, dan keputusan bekerja sama dengan Microsoft yang kontraproduktif,
produk asal Finlandia ini belakangan mulai menghadirkan ponsel pintar berbasis Android.
Sebuah kemajuan, meski sebenarnya agak terlambat start beberapa tahun di belakang kompetitor.
Karena ketertinggalan inilah, "positioning" produk mereka terlihat membingungkan. Untuk segmen "entry level", harga produk dan sistem operasinya memang terlihat bersaing, tapi, ukuran fabrikasinya masih berada di kelas 28 nanometer.
Ukuran tersebut terbilang "kuno" untuk ukuran ponsel generasi baru rata-rata minimal berada di kelas 14 nanometer atau lebih kecil.
Selain kuno, ini juga jadi titik lemah fatal, karena semakin besar ukurannya, semakin banyak konsumsi energinya. Otomatis, baterainya akan lebih cepat habis.
Itu baru dalam keadaan biasa, belum dalam pemakaian intens, apalagi main game atau medsos porsi brutal.
Dengan kecenderungan sebagian konsumen Indonesia dalam mengandalkan rumus belanja "murah tapi bagus", kelemahan ini jadi nilai minus cukup besar.
Di kelas menengah ke atas, kelebihan berupa ukuran memori besar, jaminan update OS Android selama 2-3 tahun, dan tahan air memang menarik. Masalahnya, harga yang dipasang cenderung diatas rata-rata produk sejenis.
Kalau harga itu sebanding dengan chipsetnya, mungkin bisa membuat Nokia kembali ke tingkat atas persaingan bisnis ponsel. Tapi, karena level chipsetnya kebanyakan berada di level menengah ke bawah dan kapasitas baterainya masih didominasi kelas 3000-4000an mAh (di saat baterai kapasitas 5000 mAh sudah jamak) jelas ada banyak kekurangan yang harus dibenahi.