Di era kekinian, medium digital adalah rumah bagi begitu banyak media. Otomatis, senjata andalannya bukan lagi iklan baris dan oplah koran cetak, tapi "traffic" website, iklan digital dan jumlah klik yang datang.
Sebenarnya, kehadiran medium digital ini telah menciptakan banyak hal positif. Mulai dari jumlah berita yang banyak dan cepat, sampai kesempatan mendapat penghasilan lebih banyak.
Masalahnya, makin kesini, titik fokus konten tidak lagi berada pada kualitas isi, tapi kuantitas, khususnya pada jumlah klik. Semakin banyak kliknya, semakin bagus, karena peluang mendapat lebih banyak uang jadi lebih besar.
Seiring dengan makin banyaknya media digital, fokus pada kuantitas juga semakin menjadi. Bukan hanya mengejar banyak klik lewat judul "clickbait", tapi melebar ke target produksi artikel.
Apa boleh buat, perspektif yang ada jadi kurang beragam. Target produksi tinggi membuat ruang untuk mengembangkan perspektif jadi terbatas. Bodo amat dengan kebaruan perspektif, yang penting target tercapai.
Dari sudut pandang profesional, tak ada yang salah di sini. Tugas beres, deadline pun tak jadi masalah.
Tapi, ini jadi satu kerugian fatal, karena dengan perspektif beragam saja, ada masalah berupa minat baca rendah di Indonesia. Jadi, tidak mengejutkan kalau orang semakin enggan membaca, dan cenderung memilih konten audiovisual atau membuka media sosial.
Masih banyak orang yang hanya membaca judul tapi sudah berkomentar terlalu jauh. Sebuah kebiasaan yang (masih) membudaya.
Ditambah lagi, belakangan makin banyak platform berita yang menggandeng berbagai kalangan sebagai kontributor. Kalau kapasitas dan perspektifnya adalah "jurnalisme warga", itu sangat bagus, tapi kalau mereka dikarbit menjadi jurnalis profesional dadakan, jelas tidak pada tempatnya.
Mungkin, ada yang memang berbakat menulis atau punya etos kerja hebat, tapi menghadirkan perspektif berbeda yang berkualitas, itu soal lain. Dimensinya jauh lebih kompleks.