Judul di atas adalah satu pertanyaan yang belakangan muncul, seiring terjadinya tragedi kematian dua Bobotoh Persib Bandung, akibat berdesakan di Stadion Gelora Bandung Lautan Api, Jumat (17/6) lalu.
Akibatnya, meski menang 3-1 atas Persebaya Surabaya di fase grup Piala Presiden, laga penutup fase grup di Bandung terpaksa harus dilangsungkan di luar kota Bandung.
Insiden ini jelas menjadi peringatan serius buat PSSI dan klub-klub Liga 1 (maupun kasta di bawahnya) untuk mengevaluasi, seberapa siap panpel dan manajemen klub mereka dalam menangani animo suporter.
Seperti diketahui, animo suporter sedang tinggi, karena sudah diperbolehkan menonton langsung di stadion. Tapi, insiden di Stadion GBLA ini jelas menimbulkan tanda tanya besar.
Apalagi, belakangan diketahui, dalam insiden ini, ada oknum suporter yang coba memaksa masuk ke stadion, meski sebenarnya tidak punya tiket.
Dari sini, terlihat jelas kalau manajemen tiket masuk jadi masalah. Dengan masih belum beresnya masalah penonton tanpa tiket dan ketertiban suporter, harus segera ada perbaikan.
Padahal, masalah ini akan sangat merugikan klub. Selain karena pemasukan berkurang, mereka juga bisa kena denda atau sanksi lain, jika ada insiden serius, seperti yang terjadi di GBLA, atau yang paling sering aksi anarkis oknum suporter.
Karenanya, pertanyaan soal kesiapan klub Liga 1 beralih ke tiket online di platform aplikasi digital pun layak dihadirkan. Kebetulan, tiket online sudah jadi hal umum di era digital, termasuk di Indonesia.
Kita juga melihat, konser musik, bioskop, dan transportasi jarak jauh yang biasa diakses puluhan ribu orang (bahkan lebih) tiap harinya, tak pernah sampai kebobolan banyak penonton atau penumpang tanpa tiket. Sederhananya, no ticket no entry.
Untuk penjualan tiket secara langsung, jumlahnya dibatasi menjadi hanya sebagian kecil dari kapasitas stadion atau alokasi tiket. Jadi, kalaupun banyak yang ingin membeli, situasinya masih bisa dikontrol, tidak sampai terjadi insiden.