Pada Sabtu (4/6) lalu, pemerintah melalui Menko Marinves Luhut Binsar Panjaitan mengumumkan rencana perubahan tarif paket wisata untuk turis yang berkunjung ke Candi Borobudur. Dari yang sebelumnya 25-50 ribu rupiah menjadi 750 ribu rupiah untuk wisatawan domestik dan 100 dollar AS untuk turis mancanegara.
Selain itu, pemerintah juga membatasi jumlah maksimal wisatawan yang berkunjung menjadi 1200 orang per hari. Satu-satunya "kelonggaran" didapat untuk pelajar, yang dikenai tarif 5 ribu rupiah per orang.
Dengan perubahan tarif yang sedemikian drastis, wajar jika rencana keputusan pemerintah menuai kritik dan membuat kegaduhan di masyarakat, termasuk di kalangan pelaku industri pariwisata.
Maklum, candi yang jadi salah satu Destinasi Super Prioritas (DSP) Kemenparekraf ini sebenarnya sudah lama menjadi satu tujuan wisata populer di Indonesia, bahkan sempat masuk daftar tujuh keajaiban dunia.
Ditambah lagi, tarif baru yang dipatok terlalu mahal, untuk ukuran rata-rata masyarakat Indonesia. Pertanyaannya, apakah ini adalah satu rencana keputusan yang salah?
Sebenarnya tidak juga. Di satu sisi, ini bisa dibilang masuk akal, karena berkaitan dengan satu situs bersejarah berusia 1000 tahun lebih, dan diakui UNESCO sebagai warisan dunia.
Karenanya, perlu ada upaya pelestarian dan konservasi yang benar-benar serius dan berkelanjutan. Jika tidak, keberadaan situs sejarah seperti Candi Borobudur bisa terancam.
Meski "keras" langkah pemerintah kali ini bisa menjadi satu "terapi kejut" efektif. khususnya bagi para wisatawan yang hobi melakukan vandalisme bahkan merusak. Dengan tarif paket wisata semahal itu, mereka akan dibuat berpikir berkali-kali sebelum melakukan.
Suka atau tidak, perilaku negatif oknum wisatawan nakal di Indonesia sudah lama jadi masalah dan ancaman tersendiri, seperti halnya faktor bencana alam.
Jangankan situs bersejarah, kebun bunga yang baru viral saja banyak yang langsung rusak parah karena diinjak-injak oknum wisatawan nakal. Jadi memang perlu ada satu pendekatan tegas yang bisa meminimalkan, karena cara halus kurang efektif.